Let me Introduce to you All Members of our Group.
Kami adalah kelompok 2 , dipilih berdasarkan Demokrasi. kenapa Demokrasi? karna kami bebas untuk memilih menjadi anggota kelompok siapapun. Alur pemilihan kelompok ini agak berbeda dengan sebelumnya. Kami diminta untuk memilih 3 Pria dan 3 Wanita untuk menjadi Pemimpin/Ketua Kelompok lalu dikerucutkan menjadi 2 orang yang merebutkan previllage. dan kelompok kami tidak mendapatkannya.
Previllage tersebut kalau dimanfaatkan bisa menguntungkan, karna kita bisa memilih siapa yang akan menjadi anggota kelompok kita tanpa adanya intervensi dari kelompok lain. Pak Rahman Faisal atau yang biasa kami kenal Mr ical, menginstruksikan untuk para mahasiswa lainnya bebas untuk memilih kelompok, dan mereka sudah membuat ancang-ancang ke depan kelas untuk memilih kelompok impian mereka.
Melihat situasi tersebut, Pak ical langsung membuat keputusan, dan Febri yang duduk paling belakang mendapatkan previllage untuk memilih kelompok impiannya dan memilih satu anggota lainnya untuk bersamanya dan terkumpulah Andika, Nur siti, Tira , Sofyan , dan Reza sebagai ketua kelompok.
Terima Kasih kepada Bapak Rahman Faisal telah membuat kita Keluar zona nyaman kita sehingga mendapatkan pengalaman yang luar biasa melalui tugas ini. dan juga para pembaca setia yang telah membaca Blog kami, serta terima kasih kepada para Sumber yang telah membantu kami dalam menyelesaikan Blog ini. dan kami mohon Maaf karena Masih banyak kekurangan dalam penulisan di blog ini dan Blog ini dibuat untuk menginspirasi Kaum muda dalam memulai bisnis melalui setiap postingan yang kami buat.
Best Regards,
Team Inspirasi Bisnis ( Kelompok 2 )
Featured
Featured
Gallery
Technology
Video
Games
Recent Posts
Jumat, 07 April 2017
RAKSASA EKONOMI DUNIA, LEMAH
Photo From Merdeka.com
Setelah
mampu bertahan menerjang badai krisis di tahun 2008, di tahun 2013 China merasa
efek kebijakan fiscal yang dilakukan untuk mempertahankan
perekeonomiannya.Akibatnya total utang China bertambah cukup signifikan yang juga
diikuti nilai ekspor mengalamin kelemahan tajam hingga saat ini.
Laju
pertumbuhan ekonomi China pada tahun 2012 tercatat 7,8% yang merupakan laju
pertumbuhan terlemah selama 13 tahun terakhir. Pertumbuhan menurun selama tujuh
kuartal berturut-turut, tetapi selama tiga bulan terakhir tahun 2012,
pertumbuhan meningkat lagi.Nilai index saham China di pasar bursa yang terus
melorot memicu ketakutan global. Krisis berkepanjangan dicemaskan akan
melemahkan ekonomi dunia dan menyeret banyak Negara ke jurang resesi.
Bursa
Shanghai China anjlok sampai 8%. Agar tidak semakin merosot, lebih dari 1.300
perusahaan meminta otoritas bursa menghentikan perdagangan tetapi hasilnya
tidak membantu, bursa Shanghai ditutup turun 5,9%. Penurunan saham ini bukan
hanya sekali terjadi karena dalam jangka waktu satu bulan bursa saham Shanghai
telah mengalami penurunan lebih dari 30%. Penjelasan lebih luasnya adalah
pertumbuhan ekonomi di China melambat dan ada kekhawatiran akan menganggu
pasar.
Dugaan
penyebab turunnya bursa Shanghai China salah satunya karena bursa Shanghai dari
awal tahun naik terlalu tinggi, hingga tidak terlihat adanya korelasi antara
sector finansial dengan sector rill.Pada kenaikan saham di bursa Shanghai pada
awal tahun karena investor berharap pemerintah China menggelontorkan stimulus
untuk membuat gelembung ekonomi bisa kempis secara bertahap, tetapi setelah
data yang dilansir terakhir gelembung ekonomi bukan kempis secara bertahap
melainkan pecah.
KRISIS
Adanya
krisis ekonomi yang terjadi pada pasar saham di China disebabkan karena
banyaknya investor membeli saham dengan utang.Dan ketika saham pertama mulai
jatuh, banyak investor menjual saham mereka dengan cepat untuk melunasi
hutang.Hal ini menjadi pemicu merosot tajam pasar saham China.Hingga memaksa
Bank Sentral China untuk menurunkan suku bunga.Bahkan kondisi ini diperkirakan
bisa lebih buruk.Penyelamatan pasar saham juga dilakukan oleh broker China
dengan membeli saham di Shanghai Composite. Namun hal ini diyakini akan
menimbulkan masalah baru.
Pasar
saham China tenggelam dengan cepat beberapa waktu terakhir.China saat ini
adalah mitra dagang terbesar kedua bagi Eropa dan Amerika Serikat.Selain itu,
China adalah salah satu konsumen komoditas terbesar dunia. Penurunan harga
saham tentu akan mempengaruhi ekonomi dunia secara langsung.
Selain
itu bukan hanya saham, namun harga komoditi lainnya juga ikut terpengaruh,
terutama minyak mentah.Dan banyak yang menyalahkan Yunani dan penurunan nilai
tukar Euro, tidak banyak yang berpikir kalau kondisi ini terjadi karena
pengaruh kondisi di China.Harga minyak mentah sudah jatuh sepertiga saat mulai
terjadi penurunan bursa saham.Namun jatuhnya harga saham di Cina juga ikut
menaikkan beberapa mata uang yang dilihat sebagai investasi aman, seperti yen
dan franc swiss.
DAMPAK
Dampak
Bagi Negara China
Dampak
langsung dari merosotnya harga saham di China sebenarnya dalam tingkat
sedang.Hal itu dikarenakan di pasar China tidak begitu banyak investasi asing,
sehingga tidak terlalu menjadi masalah.Menurut konsultan di London, Capital
Economics, orang asing hanya punya 2% saham.Namun yang menjadi kekhawatiran
ialah apakah ini menjadi cerminan masalah perlambatan ekonomi yang lebih besar
di China yang berdasar pada evaluasi yuan awal bulan ini.
Dampak
Bagi Penduduk China
Penduduk
yang meminjam uang untuk membeli saham mengalami dampak terparah.Tapi menurut
kebanyakan warga China, masalah yang lebih besar adalah kesehatan ekonomi
Negara tersebut.Jika China bisa melakukan transisi ke tingkat pertumbuhan yang
lebih lambat dan lebih berkelanjutan, ekonomi masih cukup cepat untuk
meningkatkan standar hidup buat sebagian besar orang. Perlambatan yang lebih
mengganggu akan menyebabkan kegagalan bisnis dan kehilangan pekerjaan bagi para
penduduk China.
Dampak
Bagi Ekonomi Global
“Perlambatan
ekonomi di China adalah ancaman terbesar ekonomi dunia”, ujar mantan kepala
ekonom Dana Moneter Internasional, IMF.
Bank
of International Settlements atau lembaga penelitian global untuk bank-bank
sentral, mengatakan bahwa rasio utang China pada Produk Domestik Bruto (PDB)
berada di 30,1%, menambah ketakutan bahwa ledakan ekonomi China berdasar pada
gelembung kredit yang tidak stabil.
Berikut
adalah rincian yang paling terpengaruhi akibat ekonomi melambat :
1. Ekspor
Komoditas
Negara
paling terpengaruh oleh perlambatan ekonomi China mungkin bagi mereka yang
mengekspor terbesar ke China terutama eksportir komoditas seperti Australia.
Permintaan China menurun untuk bahan mentah dan komoditas akan berdampak
terhadap pertumbuhan ekonomi Negara eksportir komoditas tersebut.
Demikian
juga Negara sub-sahara Afrika. Tetapi ada sejumlah dampak Negara yang akan
terkonsentrasi antara lain Angola, Kongo, Guinea, Republik Demokratik Kongo dan
Afrika Selatan. Seiring pertumbuhan China melambat, impor pun telah jatuh
sebesar 8% dari tahun lalu seperti yang terlihat dalam data Juli
2015.Sebelumnya impor juga turun sebesar 6% pada bulan Juni.Ekonomi China
melambat berdampak terhadap harga komoditas yang tertekan. Ini juga menyebabkan
puluhan ribu pegawai kehilangan pekerjaan terutama perusahaan minyak dan batu
bara
2. Eropa
Tidak
hanya komoditas yang menurun, impor modal juga telah jatuh sehingga
mempengaruhi Negara-negara seperti Jerman.Ekspor Jerman ke China mencapai
sekitar 2% dari PDB. Karena pihak Jerman sendiri menyumbang sebagian besar
ekspor Uni Eropa ke China sehingga Negara-negara yang ada di Eropa juga akan
merasakan dampaknya. Jadi perlambatan ekonomi di China akan mempengaruhi Eropa
yang juga dirasakan perusahaan seperti BMW. Apalagi penjualan perusahaan
tersebut melambat di China.
3. Amerika
Serikat
Ekspor
dari AS ke China sebaliknya adalah kurang dari 1 % dari PDB.Hal ini berlawanan
dengan Jepang yang ekspornya mencapai 3% dari PDB. Tetapi hal tersebut
diyakinkan bahwa tidak akan mempengaruhi perusahaan multinasional AS. Misalnya
Apple, penjualan Apple ke China lebih besar dari pada AS.
4. Pasar
Keuangan
Perlambatan
China paling tampak terlihat di pasar keuangan.Pasar saham China sebagaian
besar tertutup untuk investor luar sehingga tidak memiliki dampak langsung
untuk investor global.
KEBIJAKAN
China
tidak terlepas dari kebijakan moneter yang dikeluarkan oleh pemerintahnya,
yaitu aliran modal yang masuk ke dalam negeri dan system nilai tukar tetap yang
diberlakukan oleh China.Pemerintah mempunyai beberapa opsi untuk menstimulasi
ekonomi yang bisa berdampak pada pasar saham, seperti :
-
Memberlakukan pemotongan
suku bunga.
-
Mengurangi
aturan-aturan pinjaman di bank.
-
Meningkatkan belanja.
-
Mendorong yuan turun
lebih jauh lagi untuk mendorong ekspor.
Adapun
yang dilakukan oleh Bank Sentral China untuk terus melanjutkan berbagai langkah
ekonomi untuk mencegah krisis finansial di Negara ini. Bank Sentral China
merilis pernyataan bahwa tingkat suku bunga pinjaman dan deposito akan
diturunkan hingga 25 poin sehingga mampu membantu perusahaan dan pabrik untuk
meningkatkan produksi serta mereduksi resiko perdagangan dan produksi di Negara
ini. Fluktuasi di pasar saham China serta anjloknya indeks hingga 9% dalam
beberapa hari terakhir. Bersamaan dengan kebijakan tersebut, polisi China juga
meningkatkan operasi menindak kejahatan pencucian uang dan lembaga-lembaga
finansial illegal termasuk bank-bank “bawah tanah” di Negara ini, yang menurut
pada pejabat Beijing mereka berusaha merusak system ekonomi Negara.
Mengingat
perekonomian China sebagai salah satu factor pertumbuhan ekonomi dunia, sangat
penting untuk banyak kekuatan ekonomi dan bahkan perusahaan-perusahaan dunia,
maka masalah yang muncul juga akan memperngaruhi perekonomian global. Sekarang
perhatian dunia sedang focus pada upaya dan langkah-langkah yang diambil oleh
Pemerintah China.
Untuk mengatasi krisis ekonomi di China,
pemerintah China mengeluarkan berbagaikebijakan :
1. Kebijakan
Moneter Kuantitatif
Bank Sentral China
membuat kebijakan memangkas suku bunga acuan untuk pinjaman sebesar 25 poin.
Sejak November 2014 Bank Sentral China telah melakukan pemangkasan suku bunga
acuan sebanyak 3 kali.Karena penurunan suku bunga acuan untuk pinjaman bisa
meredakan angka kredit bermasalah sekaligus bisa mendorong peningkatan ekonomi.
2. Kebijakan
Moneter Kualitatif
Mengawasi bentuk-bentuk
pinjaman dan investasi yang dilakukan oleh bank-bank perdagangan.Tujuan utama
kebijakan ini bukan untuk mengawasi perkembangan penawaran uang melainkan untuk
mempengaruhi jenis-jenis pinjaman yang diberikan institusi keuangan.Ini
memungkinkan Bank Sentral menggalakan pertumbuhan ekonomi ke arah yang
diharapkan.
3. Kebijakan
Fiskal
Pemerintah China
mengeluarkan kebijakan Fiskal Ekspansif yang bertujuan untuk meyakinkan para
investor bahwa pemerintah China mengawasi hutang-hutangnya.Ekonomi China
terpengaruh oleh pemulihan ekonomi global yang lemah dan kendala domestic yang
dihadapi termasuk kebutuhan untuk mengurangi tingkat hutang secara bertahap.
4. Kebijakan
Menekan Pengeluaran
Langkah pemerintah
untuk menstabilkan neraca pembayaran yang sedang dalam keadaan deficit dengan
melakukan tindakan –tindakan yang akan mengurangi pengeluaran agregat.
Kebijakan menekan dapat dilaksanakan dengan mengambil salah satu atau gabungan
langkah seperti :
§ Menaikkan
pajak pendapatan
§ Menaikkan
tingkat bunga
§ Mengurangi
pengeluaran pemerintah
5. Kebijakan
Memindahkan Pengeluaran
Tindakan pemerintah
untuk menstabilkan sector luar negeri yang sifatnya mendorong masyarakat
mengurangi impor, melakukan konsumsi yang lebih banyak ke atas barang – barang buatan
dalam negeri dan meningkatkan ekspor.
6. Melakukan
devaluasi mata uang Yuan ( penurunan nilai mata uang dalam negeri terhadap mata
uang luar negeri). China melakukan devaluasi mata uang Yuan sebesar hamper 3%
terhadap dollar AS. Walau hanya 3% penurunan tersebut merupakan penurunan
terbesar sejak 1994. Devaluasi Yuan tersebut terjadi setelah China merilis data
ekspor yang mengalami penurunan 8,3% pada Juli 2015. Pelemahan mata uang ini
diharapkan mampu memacu pertumbuhan ekspor China dan meningkatkan daya saing
produk domestic.
Dampak yang ditimbulkan
dari devaluasi Yuan yaitu :
§ Negara
yang mengekspor produk ke China akan dirugikan
§ Negara
yang mengimpor banyak produk dari China akan diuntungkan.
§ Penurunan
nilai tukar yuan dapat memicu terjadinya currency war (perang mata uang).
§ Menimbulkan
dugaan pelemahan ekonomi China akan berlanjut. Berdampak pada penurunan harga
komoditas.
§ Menimbulkan
spekulasi akan penundaan kenaikan suku bunga AS.
Krisis Ekonomi Negeri Gajah Putih
Pra-Krisis
Krisis di Thailand (dikenal dengan nama krisis Tom Yam Gung di Thailand;
Thai: วิกฤตต้มยำกุ้ง) terjadi seiring jatuhnya nilai mata uang baht setelah pemerintah Thailand
terpaksa mengambangkan baht karena sedikitnya valuta asing yang dapat
mempertahankan rate ke dolar Amerika Serikat. Waktu itu, Thailand menanggung
beban utang luar negeri yang besar sampai-sampai negara ini dapat dinyatakan
bangkrut sebelum nilai mata uangnya jatuh.
Ekonomi Thailand berkembang menjadi gelembung ekonomi yang digerakkan oleh
dana panas. Dari 1985 sampai 1995, Ekonomi Thailand tumbuh rata-rata 9%
(menakjubkan). Baht dipatok pada 25 per dolar AS. Seiring pulihnya ekonomi Amerika
Serikat dari resesi pada awal 1990-an, Federal Reserve Bank di bawah pimpinan
Alan Greenspan mulai menaikkan suku bunga A.S. untuk menurunkan inflasi. Hal
ini menyebabkan dana panas di Thailand keluar deras menuju AS.
Pada saat yang bersamaan, pertumbuhan ekspor Asia Tenggara melambat drastis
pada musim semi 1996 sehingga memperburuk posisi akun berjalannya yang
sebelumnya sudah defisit.
Pada tanggal 14-15 Mei 1997, mata uang baht, terpukul oleh serangan
spekulasi besar. Pada tanggal 30 Juni, Perdana Mentri Chavalit Yonchaiyudh
berkata bahwa dia tidak akan mendevaluasi baht, tetapi administrasi Thailand
akhirnya mengambangkan mata uang lokal tersebut pada 2 Juli 1997.
Dampak
Baht jatuh ke titik terendah pada posisi 56 per dolar AS pada Januari 1998.
Pasar saham Thailand jatuh75% pada 1997. Finance One, perusahaan keuangan
Thailand terbesar bangkrut.
Hal ini lantas memicu kekhawatiran negara-negara satu kawasan, dan memang
terbukti bahwa depresiasi bath turut menyeret nilai mata uang lain, termasuk
won Korea Selatan, dollar Singapura, dollar Hongkong, ringgit Malaysia, peso
Philipina, dan rupiah Indonesia.
Secara ekonomi, pemerintahan yang sedang berkuasa menjadi tidak lagi
legitimate. Akibatnya, pemerintahan semi demokratis PM Chavalit tidak mampu
mengambil kebijakan ekonomi efektif dan tegas dalam rangka memperbaiki
kepercayaan investor yang sudah terlanjur telah menarik keluar investasi asing
mereka. Hal ini meningkatkan tuntutan berbagai lapisan masyarakat agar
pemerintahan koalisi PM Chavalith mengundurkan diri.
Selain itu, pihak yang memiliki pengaruh dan peran dalam menyebabkan krisis
ekonomi 1997 secara politik adalah teknokrat atau birokrasi. Para teknokrat
bertanggung jawab terhadap kebijakan-kebijakan makroekonomi di Thailand, khususnya
mereka yang berada di Bank Sentral Thailand (BoT). Krisis ekonomi 1997
menunjukkan lemahnya kemampuan Bank Sentral Thailand (BoT) mengantisipasi
apresiasi nilai tukar riil mata uang bath terhadap dollar AS.
Resolusi Krisis
Untuk mengatasi krisis ekonomi di Thailand, pemerintah Thailand
mengeluarkan berbagai kebijakan.
Pertama, pemerintahan Thailand, PM Chuan memberlakukan pengontrolan lalu
lintas dan perdagangan bath melalui mekanisme two-tier system. Kebijakan ini
diharapkan mampu menjaga terjadinya stabilitas nilai tukar pada level
yang lebih rendah. Hal tersebut dapat menyebabkan industri dapat kembali
beroperasi secara normal dan baik. Misalnya, ekspor produk agroindustri lebih
mampu bersaing serta bahan baku industri dapat diimpor dengan harga lebih
murah. Selain itu, diharapkan adanya kebijakan ini mampu mempertahankan
cadangan devisa negara.
Kedua, berusaha mengembalikan kepercayaan para investor asing agar masalah
krisis likiuditas dalam cadangan devisa Thailand dapat semakin teratasi.
Pemerintah PM Chuan tetap mempertahankan kerja sama dengan IMF. Pemerintah PM
Chuan mendapatkan kesempatan besar untuk memperbaiki keadaan ekonomi domestik
Thailand dari IMF yakni melalui bantuan bersifat finansial dan teknis. Pada11
Agustus, IMF membuka paket penyelamatan dengan lebih dari 16 miliar dolar AS
(kira-kira 160 trilyun Rupiah). Pada 20 Agustus IMF menyetujui, paket
"bailout" sebesar 3,9 miliar dolar AS.
Ketiga, mengadakan reformasi finansial atau keuangan. Reformasi finansial
dilakukan oleh pemerintahan PM Chuan. Di antara reformasi keuangan tersebut
adalah penyelesaian semua aset milik ke-56 perusahaan-perusahaan keuangan yang
ditutup itu hingga 31 Desember 1998 melalui the Financial Restructuating
Agency(FRA) dan the Asset Management Corporation(AMC), perusahaan-perusahaan
keuangan akan direkapitalisasi pada 1998 seiring dengan peraturan yang ketat,
memperbaiki undang-undang kepailitan (bankruptcy law), dan pemerintah menjamin
tidak akan melakukan penutupan terhadap perusahaan-perusahaan keuangan lain.
Keempat, pemerintah Thailand membuat kebijakan untuk mendorong biaya
produksi dan ekspor. Pelaksanaan kebijakan ini dilaksanakan dalam rangka untuk
mengembangkan proyek-proyek investasi padat karya yang didanai dari pinjaman
Bank Dunia dan Miyazawa Iniatiative, Jepang. Dari kebijakan ini maka diharapkan
adanya peningkatan daya beli rakyat dan merangsang kegiatan produksi. Kebijakan
yang dikeluarkan pemerintah (Paket 30 Maret 1999) itu berisi program pembiayaan
sebesar 53 milyar bath, pengurangan pajak sebesar 54,7 milyar bath per tahun,
serta pengurangan harga energi sebesar 23,8 milyar bath per tahun.
Kelima, dalam sektor-sektor industri yang selama ini sangat terbatas bagi
penanaman modal asing akhirnya disetujui oleh Parlemen Thailand di akhir 1998.
Contohnya, produsen mobil asal Jepang mulai memiliki 100% industri mobil.
Tetapi sektor-sektor industri tersebut tidak termasuk bagian sektor ekspor dan
jasa turisme.Thailand tidak hanya mengandalkan sektor industri namun juga
sektor pertanian khususnya teknologi pertanian yang sempat ditinggalkan.
Dengan berbagai kebijakan ini, perekonomian Thailand berangsur-angsur
pulih. Hal ini bisa dilihat dari indikator-indikator ekonomi pada pertengahan
1999. Misalnya, mata uang Bath mulai terlihat stabil, nilai indeks harga saham
SET hampir meningkat dua kali lipat, cadangan devisa mengalami kenaikan pesat,
hutang luar negeri turun, dan angka inflasi mengalami penurunan.
sumber:
Krisis Finansial Asia 1997. wikipedia.org. diakses pada 4 april 2017
Makalah Krisis Thailand. korewa87.blogspot.in.
diakses pada 4 april 2017
sumber gambar:
Marketbisnis.com. diakses pada 4 april 2017.
Brexit
Photo From Okezone.com
Referendum
“Brexit,” keluarnya Inggris dari Uni Eropa (UE) telah dilakukan pada 23 Juni
2016. Wacana “Brexit” telah memperlihatkan implikasinya, bahkan sejak
referendumbelumdimulai.Implikasi jangka panjang akan terjadi dan dialami secara
langsung oleh (rakyat) Inggris dan UE, serta beberapa bagian dunia. Di dalam
negeri, dan di kawasan Eropa, “Brexit” telah enyebabkan keretakan. Dampaknya
juga dirasakan Indonesia, walaupun diperkirakan tidak sehebat yang dihadapi
Inggris dan UE. Kajian singkat ini berupaya menjelaskan latar belakang dan
implikasi “Brexit” sebelum dan pasca-referendum.
Pendahuluan
“Brexit” adalah terminologi yang
populer
belakangan dalam hubungannya dengan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (UE),
melalui referendum di Inggris pada23 Juni 2016. Referendum ini berkembang
fenomenal
dalam 6 bulan belakangan. Anggota UE lain mengantisipasi dengan cemas hasil dan
implikasinya secara luasdan dalam jangka panjang. Sebagian besar mengharapkan
Inggris tetap menjadi bagianUE, sebagian lagi menyiapkan tindakan
darurat,
dan bahkan balasan, jika Inggris keluar. “Brexit” adalah akronim dari Britain
exit,
yang bermakna keluarnya Inggris dari integrasi UE yang sekarang terdiri dari 28
negara.
“Brexit” digunakan untuk mengritikdan menyudutkan Brussels, Belgia, markas UE
yang dinilai selama ini menggerogoti kedaulatan Inggris dengan beban-beban
regulasinya.
Sebagai organisasi, UE telah didirikan sejak lama, yakni
pada tahun 1952, dengan peran dominan Prancis dan Jerman dalammerintis dan
mengonsolidasikannya hingga menjadi sebuah sistem yang bekerja dengan mekanisme
supranasional dan antar-pemerintahan. Dalam beberapa bidang, berbagai keputusan
ditetapkan melalui
cara
musyawarah-mufakat di antara 28 negara anggotanya. Sebagai konsekuensinya,
setiap
negara anggota telah menyerahkankedaulatannya dan tunduk pada mekanisme
bersama,
ketentuan UE. Inggris baru bergabungdengan UE pada 1 Januari tahun 1973.
Kelompok pro-“Brexit” berpendapat Inggris akan lebih baik
jika bisa mengatur ekonomi dan imigrasinya sendiri, sedangkan menurut yang
anti-“Brexit,” walaupun bergabung dengan UE, Inggris tidak mengadopsi
seluruhnya idealisme UE, antara lain tidak memberlakukan visa Schengen dan mata
uang Euro. Titik balik menegosiasikan
keanggotaanya
dalam UE muncul 22 Januari 2013, dalam janji kampanye PM David
Cameron
dari Partai Konservatif.
Penyebab
Integrasi UE, sejak awal, membutuhkan pengorbanan besar,
terutama dalam belanja ekonomi yang harus dikeluarkan para anggotanya. Juga,
dengan Inggris, yang
bebannya
tidak hanya harus ditanggung paraelit politik, namun juga penduduknya. Salah
satu pengorbanan terbesar Inggris adalah berkurangnya kedaulatan nasional, yang
harus
ditransaksikan dengan kepentingan Eropa secara menyeluruh. Kedaulatan nasional
tergerus dengan dibangunnya entitas supranasional baru, yang melibatkan
negara-negara
kecil anggotanya, yang sarat dengan beban ekonomi nasional, hutang luar negeri,
bahkan yang hampir bangkrut, seperti Yunani, dan angka pengangguran yang besar.
Hal ini menyulitkan Inggris untuk melesat dengan potensi ekonominya yang
besar.Kebijakan UE yang terlalu ramah dalam imigrasi mendorong niat Inggris
keluar
dari UE.
Hal ini tampak di kalangan mereka yang sangat tidak toleran
terhadap
orang
asing, dengan berbagai perbedaan latar belakang, seperti kondisi ekonomi,
pendidikan, agama, dan kultur. Dewasa ini terdapat 5,4 juta imigran, sekitar
8,4% dari
total
penduduk Inggris. Inggris menjadi penerima imigran terbesar kedua setelah
Jerman dengan 7,5 juta imigran atau 9,3%. Sebanyak 5,23 juta imigran diprediksi
membanjiri Inggris sampai tahun 2030. Sikap Brussels yang mengharuskan para
anggotanya berbagi beban mengatasi pengungsi yang mengalir ke daratan Eropa
telah memaksa London juga harus membuka pintu lebar-lebar atas pengungsi.
Mereka sudah berada di kamp penampungan di perbatasan Prancis, dan siap
memasuki daratan Inggris lewat jalan tol dan KA. Perilaku pengungsi imigran
yang beringas, ditambah lagi dengan biaya dan pengorbanan lebih besar yang
harus dikeluarkan Pemerintah Inggris, telah membuat sebagian elit politik dan
rakyat Inggris harus mengambil langkah drastis
dengan
referendum pada 23 Juni 2016.
Implikasi
Luas
Wacana “Brexit” telah menyebabkan 3 jenis perpecahan, di
antara partai di Inggris, negara-negara Eropa, dan pendudukInggris. Di politik
nasional, “Brexit” telah
menyebabkan
perpecahan tokoh politik Inggris, yang selama ini selalu memiliki banyak
persamaan dalam sikap, seperti antara PM David Cameron dan mantan Walikota
London, Boris Johnson. PM Cameron dan Johnson dengan persamaansikapnya yang
kuat telah berhasil membawa Partai Konservatif memenangkan pemilu tahun 2015.
Namun, 13 bulan kemudian, gagasan referendum “Brexit” telah melahirkan
perceraian politik, dengan PM Cameron berupaya membujuk penduduk Inggris agar
tidak meninggalkan Uni Eropa (UE), dan Johnson berkampanye sebaliknya,
memperoleh dukungan agar Inggris dapat meninggalkan UE dengan segala beban
kewajibannya.
Isu
“Brexit” telah mengakibatkan anggota parlemen perempuan Inggris dari Partai
Buruh, Jo Cox, tewas ditembak orang yang menentangnya yang menyerukan Inggris
tetap dalam UE. Ia dianggap pengkhianat kemerdekaan dan kebebasan Inggris.
Kasus ini menyebabkan Westminster berduka, sehingga kampanye referendum
dihentikan untuk sementara. Hampir separuh anggota Partai Konservatif di
parlemen mendukung “Brexit,” menjadi bagian dari Euroskeptis.“Brexit” telah
menunjukkan rakyat Inggris yang terbelah pandangannya, antara mereka yang
melihat peluang dan mereka yang sangat mencemaskan dampaknya. Kebingungan dan
keresahan telah berdampak buruk terhadap kondisi ekonomi nasional. Dengan
barisan pendukung dan kalangan yang kontra hampir sama kuatnya, prospek Inggris
akibat ”Brexit” telah dipertaruhkan.Tetap bersama UE dinilai akan membuat
Inggris tidak banyak berubah, kecuali ada reformasi UE, yang bisa membuat UE
lebih maju dan dirasakan manfaatnya bagi seluruh negara anggotanya.
Meninggalkan UE menawarkan banyak perubahan, namun Inggris akan dinilai egois
karena melupakanidentitas Eropanya.
Dengan “Brexit,” Inggris akan mendapatkan kembali kedaulatan
nasionalnya, dan banyak lapangan kerja akan tercipta. Inggris dapat berhubungan
langsung dengan kekuatan ekonomi China, India, Rusia dan lain lain lewat WTO,
dan secara penuh dapat mengontrol perbatasan dari masuknya imigran. Dari
perspektif keamanan, peran Inggris tidak akan hilang ditelan Jerman dan
Prancis. Sebaliknya, warga Inggris tidak akan lagi memperoleh perlindungan
sosial UE. Inggris harus mengijinkan pergerakan bebas imigran dengan akses
pasar bebas yang dapat mengakibatkan berkurangnya pembayaran pajak. Aksi
investor yang kuatir telah mencampakkan posisi mata uang
Poundsterling,
dan membuat mereka mencari instrumen investasi yang lebih aman. Hal ini telah
menguatkan secara tajam nilai mata uang Yen dan Franc Prancis, serta emas.
“Brexit” telah diantisipasi akan memukul perbankan Jerman, yang memiliki
kepentingan yang besar terhadap Inggris. Di sisi lain, ia menyediakan peluang
bagi Frankfurt dan Paris untuk menggantikan London, sebagai salah satu pusat keuangan
strategis di Eropa, dan dunia. “Brexit” akan memicu larinya peluang bisnis dari
Inggris ke negara-negara UE lain, atau belahan dunia lain.Keluarnya Inggris
dari UE akanmenyebabkan lubang beban keuangan nasional sebesar US$ 42,4 miliar,
atau 30 miliar Poundsterling. Hal ini disebabkan oleh implikasinya terhadap
sektor keuangan, dengan harus dinaikkannya pajak penghasilan dan warisan di
dalam negeri, serta pemotongan anggaran belanja, khususnya yang harus diberikan
untuk jaminan kesehatan nasional melalui National Health Service. Pasar uang di
Inggris anjlok akibat meningkatnyapendukung “Brexit”. Implikasi lebih jauh akan
berpengaruh pada pengurangan anggaran belanja sekolah, rumah sakit, dan
angkatan bersenjata Inggris. Pengurangan anggaran belanja akan berdampak lebih
jauh pada tingkat kesejahteraan keluarga atau warga Inggris. Dampak negatif
sudah dapat dilihat dari kondisi indeks volatilitas, yang berada di posisi
tertinggi sejak krisis finansial 2008. Implikasi ekonomi akibat “Brexit”
mengancam
pertumbuhan global dan kejatuhan nilai saham. Indikasi kepanikan di kalangan
investor tampak di berbagai negara. Ini logis, karena peran Inggris yang
signifikan di Eropa, khususnya UE, mengingat Inggris adalah salah satu kekuatan
ekonomi besar dunia, dengan sekitar 50 persen perdagangan luar negeri nggris
adalah dengan UE. Sehingga, menguatnya isu “Brexit” telah menyebabkan
terjadinya goncangan pada pasar uang dan pengaliran arus modal keluar yang
deras dari UE.Bagaimanapun, “Brexit” akan menciptakan kondisi ketidakpastian
bagi Inggris, sehingga seperti berjudi dalam perdagangan berjangkanya. Sebab,
melakukan negosiasi dagang dari luar UE akan menjadi jauh lebih sulit daripada
sekadar memberikan nasihat agar Inggris segera keluar dari UE. Dalam jangka
panjang, “Brexit” dapat menghasilkan resiko kolosal yang tidak jelas
akhirnya.Selain diperkirakan buruk buat Inggris, jatuh dan terpuruknya nilai
mata uang Poundsterling justru bisa berdampak baik buat negara tersebut,
khususnya bagi pembayaran utangnya, mengingat utang Inggris pada umumnya dalam
denominasi Poundsterling. Melemahnya nilai mata uang Poundsterling juga dapat
menguatkan daya saing ekspor Inggris, mengingat komoditas
seperti
cocoa dan kontrak-kontrak gas alam, misalnya, dilakukan dalam denominasi
Poundsterling.
Secara positif, “Brexit” juga dinilai dapat sangat baik bagi perbaikan
kondisi
ekonomi nasional negeri itu, yang defisit neraca transaksi berjalannya sangat
besar.
“Brexit,”
secara spesifik, akan memprovokasi meningkatnya sentimen nasionalisme serta
muncul dan menguatnya pemimpin populis dan kanan di UE dengan ambisi kekuasaan
dan semangat anti-imigran yang tinggi, sehingga mengancam instabilitas politik
UE. Diperkirakan, Inggris akan menghadapi minimal 7 tahun ketidakpastian selama
negosiasi terkait hubungan baru dengan UE.
Penutup
“Brexit”
bukan lagi hal sederhana, seperti ”To Brexit or Not to Brexit.” Seperti
dikatakan Kompas, dampak “Brexit” adalah terancamnya integrasi dan persatuan
Eropa, karena ia akan menjadi model bagi negara UE lainnya untuk melakukan
eksodus
serupa,
apalagi jika eksperimen berani Inggris itu menunjukkan keberhasilannya.
Keseragaman dan tanggung jawab bersama dalam menanggung beban secara total
telah
menjadi
pertimbangan keluar dari integrasi, yang di awal dasawarsa 1990 menjadi solusi
atas masalah-masalah ekonomi dan politik yang terjadi di kawasan. Di Eropa,
integrasi kawasan telah memperlihatkan perkembangan yang anti-klimaks.
Antisipasi para analis internasional, seperti Duffield (1998), di dasawarsa
1990, yang memperkirakan integrasi kawasan sebagai trend, tampaknya terlalu
prematur disampaikan, mengingat perkembangannya berbeda. Kian eratnya hubungan
antar-
bangsa
di kawasan yang diharapkan langgeng terjadi, dalam kenyataannya, sedikit demi
sedikit menjadi longgar, sebelum dapat tercerai-berai kembali. Jadi, integrasi
kawasan tidak seindah yang telah diimpikan sebelumnya. “Brexit” meninggalkan
pertanyaan buat ASEAN, dan Indonesia khususnya, negara anggota terbesar, terkait
prospek komunitas Asia Tenggara itu. Walaupun berbeda dilihat dari sejarah
pembentukan dan pertumbuhannya, “Brexit” telah memberikan pelajaran sejarah
berharga buat ASEAN. Di Malaysia, dampaknya atas likuiditas pasar secara
menyeluruh sudah terjadi dalam beberapa minggu. Walaupun buat Indonesia
dampaknya diperkirakan tidak signifikan, namun buat emerging economiesakan
tampak, terkait nilai tukar Euro dan Poundsterling dalam transaksi dagang,
investasi, dan pinjaman. “Brexit” membuat pasar melakukan adjustmentsebelum
mencapai nilai yang wajar. Pendapat yang lebih buruk memperkirakan akan muncul
guncangan, karena Inggris adalah salah satu negara
berpengaruh
dalam UE, sehingga akan merepotkan distribusi dan penjualan, dan mengganggu
permintaan pasar komoditi Indonesia. Dengan “Brexit”, Indonesia harus
bernegosiasi
dengan Inggris, terpisah dari UE, sehingga akan merugikan potensi akses
pasar
Indonesia. Wajar, pelaku bisnis tekstil lebih senang jika Inggris tetap dalam
UE.
Para
investor harus mewaspadai jika hasil referendum tidak diharapkan pasar.
Terlepas
dari
itu semua, Komisi-komisi DPR yang berhubungan dengan isu ”Brexit” tampaknya
perlu
melakukan refleksi dan penilaian kembali dalam mendorong sejauh mana integrasi
masyarakat ASEAN dapat dilakukan. Untuk itu, DPR RI perlu mengantisipasi
dampak
“Brexit” yang menjadi fenomenal itu.