Latest News

Jumat, 07 April 2017

Brexit



Photo From Okezone.com

Referendum “Brexit,” keluarnya Inggris dari Uni Eropa (UE) telah dilakukan pada 23 Juni 2016. Wacana “Brexit” telah memperlihatkan implikasinya, bahkan sejak referendumbelumdimulai.Implikasi jangka panjang akan terjadi dan dialami secara langsung oleh (rakyat) Inggris dan UE, serta beberapa bagian dunia. Di dalam negeri, dan di kawasan Eropa, “Brexit” telah enyebabkan keretakan. Dampaknya juga dirasakan Indonesia, walaupun diperkirakan tidak sehebat yang dihadapi Inggris dan UE. Kajian singkat ini berupaya menjelaskan latar belakang dan implikasi “Brexit” sebelum dan pasca-referendum.

Pendahuluan
“Brexit” adalah terminologi yang
populer belakangan dalam hubungannya dengan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (UE), melalui referendum di Inggris pada23 Juni 2016. Referendum ini berkembang
fenomenal dalam 6 bulan belakangan. Anggota UE lain mengantisipasi dengan cemas hasil dan implikasinya secara luasdan dalam jangka panjang. Sebagian besar mengharapkan Inggris tetap menjadi bagianUE, sebagian lagi menyiapkan tindakan
darurat, dan bahkan balasan, jika Inggris keluar. “Brexit” adalah akronim dari Britain
exit, yang bermakna keluarnya Inggris dari integrasi UE yang sekarang terdiri dari 28
negara. “Brexit” digunakan untuk mengritikdan menyudutkan Brussels, Belgia, markas UE yang dinilai selama ini menggerogoti kedaulatan Inggris dengan beban-beban regulasinya.

Sebagai organisasi, UE telah didirikan sejak lama, yakni pada tahun 1952, dengan peran dominan Prancis dan Jerman dalammerintis dan mengonsolidasikannya hingga menjadi sebuah sistem yang bekerja dengan mekanisme supranasional dan antar-pemerintahan. Dalam beberapa bidang, berbagai keputusan ditetapkan melalui
cara musyawarah-mufakat di antara 28 negara anggotanya. Sebagai konsekuensinya,
setiap negara anggota telah menyerahkankedaulatannya dan tunduk pada mekanisme
bersama, ketentuan UE. Inggris baru bergabungdengan UE pada 1 Januari tahun 1973.

Kelompok pro-“Brexit” berpendapat Inggris akan lebih baik jika bisa mengatur ekonomi dan imigrasinya sendiri, sedangkan menurut yang anti-“Brexit,” walaupun bergabung dengan UE, Inggris tidak mengadopsi seluruhnya idealisme UE, antara lain tidak memberlakukan visa Schengen dan mata uang Euro. Titik balik menegosiasikan
keanggotaanya dalam UE muncul 22 Januari 2013, dalam janji kampanye PM David
Cameron dari Partai Konservatif.

Penyebab
Integrasi UE, sejak awal, membutuhkan pengorbanan besar, terutama dalam belanja ekonomi yang harus dikeluarkan para anggotanya. Juga, dengan Inggris, yang
bebannya tidak hanya harus ditanggung paraelit politik, namun juga penduduknya. Salah satu pengorbanan terbesar Inggris adalah berkurangnya kedaulatan nasional, yang
harus ditransaksikan dengan kepentingan Eropa secara menyeluruh. Kedaulatan nasional tergerus dengan dibangunnya entitas supranasional baru, yang melibatkan
negara-negara kecil anggotanya, yang sarat dengan beban ekonomi nasional, hutang luar negeri, bahkan yang hampir bangkrut, seperti Yunani, dan angka pengangguran yang besar. Hal ini menyulitkan Inggris untuk melesat dengan potensi ekonominya yang besar.Kebijakan UE yang terlalu ramah dalam imigrasi mendorong niat Inggris
keluar dari UE.

Hal ini tampak di kalangan mereka yang sangat tidak toleran terhadap
orang asing, dengan berbagai perbedaan latar belakang, seperti kondisi ekonomi, pendidikan, agama, dan kultur. Dewasa ini terdapat 5,4 juta imigran, sekitar 8,4% dari
total penduduk Inggris. Inggris menjadi penerima imigran terbesar kedua setelah Jerman dengan 7,5 juta imigran atau 9,3%. Sebanyak 5,23 juta imigran diprediksi membanjiri Inggris sampai tahun 2030. Sikap Brussels yang mengharuskan para anggotanya berbagi beban mengatasi pengungsi yang mengalir ke daratan Eropa telah memaksa London juga harus membuka pintu lebar-lebar atas pengungsi. Mereka sudah berada di kamp penampungan di perbatasan Prancis, dan siap memasuki daratan Inggris lewat jalan tol dan KA. Perilaku pengungsi imigran yang beringas, ditambah lagi dengan biaya dan pengorbanan lebih besar yang harus dikeluarkan Pemerintah Inggris, telah membuat sebagian elit politik dan rakyat Inggris harus mengambil langkah drastis
dengan referendum pada 23 Juni 2016.

Implikasi Luas
Wacana “Brexit” telah menyebabkan 3 jenis perpecahan, di antara partai di Inggris, negara-negara Eropa, dan pendudukInggris. Di politik nasional, “Brexit” telah
menyebabkan perpecahan tokoh politik Inggris, yang selama ini selalu memiliki banyak persamaan dalam sikap, seperti antara PM David Cameron dan mantan Walikota London, Boris Johnson. PM Cameron dan Johnson dengan persamaansikapnya yang kuat telah berhasil membawa Partai Konservatif memenangkan pemilu tahun 2015. Namun, 13 bulan kemudian, gagasan referendum “Brexit” telah melahirkan perceraian politik, dengan PM Cameron berupaya membujuk penduduk Inggris agar tidak meninggalkan Uni Eropa (UE), dan Johnson berkampanye sebaliknya, memperoleh dukungan agar Inggris dapat meninggalkan UE dengan segala beban kewajibannya.
Isu “Brexit” telah mengakibatkan anggota parlemen perempuan Inggris dari Partai Buruh, Jo Cox, tewas ditembak orang yang menentangnya yang menyerukan Inggris tetap dalam UE. Ia dianggap pengkhianat kemerdekaan dan kebebasan Inggris. Kasus ini menyebabkan Westminster berduka, sehingga kampanye referendum dihentikan untuk sementara. Hampir separuh anggota Partai Konservatif di parlemen mendukung “Brexit,” menjadi bagian dari Euroskeptis.“Brexit” telah menunjukkan rakyat Inggris yang terbelah pandangannya, antara mereka yang melihat peluang dan mereka yang sangat mencemaskan dampaknya. Kebingungan dan keresahan telah berdampak buruk terhadap kondisi ekonomi nasional. Dengan barisan pendukung dan kalangan yang kontra hampir sama kuatnya, prospek Inggris akibat ”Brexit” telah dipertaruhkan.Tetap bersama UE dinilai akan membuat Inggris tidak banyak berubah, kecuali ada reformasi UE, yang bisa membuat UE lebih maju dan dirasakan manfaatnya bagi seluruh negara anggotanya. Meninggalkan UE menawarkan banyak perubahan, namun Inggris akan dinilai egois karena melupakanidentitas Eropanya.

Dengan “Brexit,” Inggris akan mendapatkan kembali kedaulatan nasionalnya, dan banyak lapangan kerja akan tercipta. Inggris dapat berhubungan langsung dengan kekuatan ekonomi China, India, Rusia dan lain lain lewat WTO, dan secara penuh dapat mengontrol perbatasan dari masuknya imigran. Dari perspektif keamanan, peran Inggris tidak akan hilang ditelan Jerman dan Prancis. Sebaliknya, warga Inggris tidak akan lagi memperoleh perlindungan sosial UE. Inggris harus mengijinkan pergerakan bebas imigran dengan akses pasar bebas yang dapat mengakibatkan berkurangnya pembayaran pajak. Aksi investor yang kuatir telah mencampakkan posisi mata uang
Poundsterling, dan membuat mereka mencari instrumen investasi yang lebih aman. Hal ini telah menguatkan secara tajam nilai mata uang Yen dan Franc Prancis, serta emas. “Brexit” telah diantisipasi akan memukul perbankan Jerman, yang memiliki kepentingan yang besar terhadap Inggris. Di sisi lain, ia menyediakan peluang bagi Frankfurt dan Paris untuk menggantikan London, sebagai salah satu pusat keuangan strategis di Eropa, dan dunia. “Brexit” akan memicu larinya peluang bisnis dari Inggris ke negara-negara UE lain, atau belahan dunia lain.Keluarnya Inggris dari UE akanmenyebabkan lubang beban keuangan nasional sebesar US$ 42,4 miliar, atau 30 miliar Poundsterling. Hal ini disebabkan oleh implikasinya terhadap sektor keuangan, dengan harus dinaikkannya pajak penghasilan dan warisan di dalam negeri, serta pemotongan anggaran belanja, khususnya yang harus diberikan untuk jaminan kesehatan nasional melalui National Health Service. Pasar uang di Inggris anjlok akibat meningkatnyapendukung “Brexit”. Implikasi lebih jauh akan berpengaruh pada pengurangan anggaran belanja sekolah, rumah sakit, dan angkatan bersenjata Inggris. Pengurangan anggaran belanja akan berdampak lebih jauh pada tingkat kesejahteraan keluarga atau warga Inggris. Dampak negatif sudah dapat dilihat dari kondisi indeks volatilitas, yang berada di posisi tertinggi sejak krisis finansial 2008. Implikasi ekonomi akibat “Brexit”
mengancam pertumbuhan global dan kejatuhan nilai saham. Indikasi kepanikan di kalangan investor tampak di berbagai negara. Ini logis, karena peran Inggris yang signifikan di Eropa, khususnya UE, mengingat Inggris adalah salah satu kekuatan ekonomi besar dunia, dengan sekitar 50 persen perdagangan luar negeri nggris adalah dengan UE. Sehingga, menguatnya isu “Brexit” telah menyebabkan terjadinya goncangan pada pasar uang dan pengaliran arus modal keluar yang deras dari UE.Bagaimanapun, “Brexit” akan menciptakan kondisi ketidakpastian bagi Inggris, sehingga seperti berjudi dalam perdagangan berjangkanya. Sebab, melakukan negosiasi dagang dari luar UE akan menjadi jauh lebih sulit daripada sekadar memberikan nasihat agar Inggris segera keluar dari UE. Dalam jangka panjang, “Brexit” dapat menghasilkan resiko kolosal yang tidak jelas akhirnya.Selain diperkirakan buruk buat Inggris, jatuh dan terpuruknya nilai mata uang Poundsterling justru bisa berdampak baik buat negara tersebut, khususnya bagi pembayaran utangnya, mengingat utang Inggris pada umumnya dalam denominasi Poundsterling. Melemahnya nilai mata uang Poundsterling juga dapat menguatkan daya saing ekspor Inggris, mengingat komoditas
seperti cocoa dan kontrak-kontrak gas alam, misalnya, dilakukan dalam denominasi
Poundsterling. Secara positif, “Brexit” juga dinilai dapat sangat baik bagi perbaikan
kondisi ekonomi nasional negeri itu, yang defisit neraca transaksi berjalannya sangat
besar.

“Brexit,” secara spesifik, akan memprovokasi meningkatnya sentimen nasionalisme serta muncul dan menguatnya pemimpin populis dan kanan di UE dengan ambisi kekuasaan dan semangat anti-imigran yang tinggi, sehingga mengancam instabilitas politik UE. Diperkirakan, Inggris akan menghadapi minimal 7 tahun ketidakpastian selama negosiasi terkait hubungan baru dengan UE.

Penutup
“Brexit” bukan lagi hal sederhana, seperti ”To Brexit or Not to Brexit.” Seperti dikatakan Kompas, dampak “Brexit” adalah terancamnya integrasi dan persatuan Eropa, karena ia akan menjadi model bagi negara UE lainnya untuk melakukan eksodus
serupa, apalagi jika eksperimen berani Inggris itu menunjukkan keberhasilannya. Keseragaman dan tanggung jawab bersama dalam menanggung beban secara total telah
menjadi pertimbangan keluar dari integrasi, yang di awal dasawarsa 1990 menjadi solusi atas masalah-masalah ekonomi dan politik yang terjadi di kawasan. Di Eropa, integrasi kawasan telah memperlihatkan perkembangan yang anti-klimaks. Antisipasi para analis internasional, seperti Duffield (1998), di dasawarsa 1990, yang memperkirakan integrasi kawasan sebagai trend, tampaknya terlalu prematur disampaikan, mengingat perkembangannya berbeda. Kian eratnya hubungan antar-
bangsa di kawasan yang diharapkan langgeng terjadi, dalam kenyataannya, sedikit demi sedikit menjadi longgar, sebelum dapat tercerai-berai kembali. Jadi, integrasi kawasan tidak seindah yang telah diimpikan sebelumnya. “Brexit” meninggalkan pertanyaan buat ASEAN, dan Indonesia khususnya, negara anggota terbesar, terkait prospek komunitas Asia Tenggara itu. Walaupun berbeda dilihat dari sejarah pembentukan dan pertumbuhannya, “Brexit” telah memberikan pelajaran sejarah berharga buat ASEAN. Di Malaysia, dampaknya atas likuiditas pasar secara menyeluruh sudah terjadi dalam beberapa minggu. Walaupun buat Indonesia dampaknya diperkirakan tidak signifikan, namun buat emerging economiesakan tampak, terkait nilai tukar Euro dan Poundsterling dalam transaksi dagang, investasi, dan pinjaman. “Brexit” membuat pasar melakukan adjustmentsebelum mencapai nilai yang wajar. Pendapat yang lebih buruk memperkirakan akan muncul guncangan, karena Inggris adalah salah satu negara
berpengaruh dalam UE, sehingga akan merepotkan distribusi dan penjualan, dan mengganggu permintaan pasar komoditi Indonesia. Dengan “Brexit”, Indonesia harus
bernegosiasi dengan Inggris, terpisah dari UE, sehingga akan merugikan potensi akses
pasar Indonesia. Wajar, pelaku bisnis tekstil lebih senang jika Inggris tetap dalam UE.
Para investor harus mewaspadai jika hasil referendum tidak diharapkan pasar. Terlepas
dari itu semua, Komisi-komisi DPR yang berhubungan dengan isu ”Brexit” tampaknya
perlu melakukan refleksi dan penilaian kembali dalam mendorong sejauh mana integrasi masyarakat ASEAN dapat dilakukan. Untuk itu, DPR RI perlu mengantisipasi
dampak “Brexit” yang menjadi fenomenal itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

logo

logo

Website Universitas Pamulang

Recent Post