Photo From Okezone.com
Referendum
“Brexit,” keluarnya Inggris dari Uni Eropa (UE) telah dilakukan pada 23 Juni
2016. Wacana “Brexit” telah memperlihatkan implikasinya, bahkan sejak
referendumbelumdimulai.Implikasi jangka panjang akan terjadi dan dialami secara
langsung oleh (rakyat) Inggris dan UE, serta beberapa bagian dunia. Di dalam
negeri, dan di kawasan Eropa, “Brexit” telah enyebabkan keretakan. Dampaknya
juga dirasakan Indonesia, walaupun diperkirakan tidak sehebat yang dihadapi
Inggris dan UE. Kajian singkat ini berupaya menjelaskan latar belakang dan
implikasi “Brexit” sebelum dan pasca-referendum.
Pendahuluan
“Brexit” adalah terminologi yang
populer
belakangan dalam hubungannya dengan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (UE),
melalui referendum di Inggris pada23 Juni 2016. Referendum ini berkembang
fenomenal
dalam 6 bulan belakangan. Anggota UE lain mengantisipasi dengan cemas hasil dan
implikasinya secara luasdan dalam jangka panjang. Sebagian besar mengharapkan
Inggris tetap menjadi bagianUE, sebagian lagi menyiapkan tindakan
darurat,
dan bahkan balasan, jika Inggris keluar. “Brexit” adalah akronim dari Britain
exit,
yang bermakna keluarnya Inggris dari integrasi UE yang sekarang terdiri dari 28
negara.
“Brexit” digunakan untuk mengritikdan menyudutkan Brussels, Belgia, markas UE
yang dinilai selama ini menggerogoti kedaulatan Inggris dengan beban-beban
regulasinya.
Sebagai organisasi, UE telah didirikan sejak lama, yakni
pada tahun 1952, dengan peran dominan Prancis dan Jerman dalammerintis dan
mengonsolidasikannya hingga menjadi sebuah sistem yang bekerja dengan mekanisme
supranasional dan antar-pemerintahan. Dalam beberapa bidang, berbagai keputusan
ditetapkan melalui
cara
musyawarah-mufakat di antara 28 negara anggotanya. Sebagai konsekuensinya,
setiap
negara anggota telah menyerahkankedaulatannya dan tunduk pada mekanisme
bersama,
ketentuan UE. Inggris baru bergabungdengan UE pada 1 Januari tahun 1973.
Kelompok pro-“Brexit” berpendapat Inggris akan lebih baik
jika bisa mengatur ekonomi dan imigrasinya sendiri, sedangkan menurut yang
anti-“Brexit,” walaupun bergabung dengan UE, Inggris tidak mengadopsi
seluruhnya idealisme UE, antara lain tidak memberlakukan visa Schengen dan mata
uang Euro. Titik balik menegosiasikan
keanggotaanya
dalam UE muncul 22 Januari 2013, dalam janji kampanye PM David
Cameron
dari Partai Konservatif.
Penyebab
Integrasi UE, sejak awal, membutuhkan pengorbanan besar,
terutama dalam belanja ekonomi yang harus dikeluarkan para anggotanya. Juga,
dengan Inggris, yang
bebannya
tidak hanya harus ditanggung paraelit politik, namun juga penduduknya. Salah
satu pengorbanan terbesar Inggris adalah berkurangnya kedaulatan nasional, yang
harus
ditransaksikan dengan kepentingan Eropa secara menyeluruh. Kedaulatan nasional
tergerus dengan dibangunnya entitas supranasional baru, yang melibatkan
negara-negara
kecil anggotanya, yang sarat dengan beban ekonomi nasional, hutang luar negeri,
bahkan yang hampir bangkrut, seperti Yunani, dan angka pengangguran yang besar.
Hal ini menyulitkan Inggris untuk melesat dengan potensi ekonominya yang
besar.Kebijakan UE yang terlalu ramah dalam imigrasi mendorong niat Inggris
keluar
dari UE.
Hal ini tampak di kalangan mereka yang sangat tidak toleran
terhadap
orang
asing, dengan berbagai perbedaan latar belakang, seperti kondisi ekonomi,
pendidikan, agama, dan kultur. Dewasa ini terdapat 5,4 juta imigran, sekitar
8,4% dari
total
penduduk Inggris. Inggris menjadi penerima imigran terbesar kedua setelah
Jerman dengan 7,5 juta imigran atau 9,3%. Sebanyak 5,23 juta imigran diprediksi
membanjiri Inggris sampai tahun 2030. Sikap Brussels yang mengharuskan para
anggotanya berbagi beban mengatasi pengungsi yang mengalir ke daratan Eropa
telah memaksa London juga harus membuka pintu lebar-lebar atas pengungsi.
Mereka sudah berada di kamp penampungan di perbatasan Prancis, dan siap
memasuki daratan Inggris lewat jalan tol dan KA. Perilaku pengungsi imigran
yang beringas, ditambah lagi dengan biaya dan pengorbanan lebih besar yang
harus dikeluarkan Pemerintah Inggris, telah membuat sebagian elit politik dan
rakyat Inggris harus mengambil langkah drastis
dengan
referendum pada 23 Juni 2016.
Implikasi
Luas
Wacana “Brexit” telah menyebabkan 3 jenis perpecahan, di
antara partai di Inggris, negara-negara Eropa, dan pendudukInggris. Di politik
nasional, “Brexit” telah
menyebabkan
perpecahan tokoh politik Inggris, yang selama ini selalu memiliki banyak
persamaan dalam sikap, seperti antara PM David Cameron dan mantan Walikota
London, Boris Johnson. PM Cameron dan Johnson dengan persamaansikapnya yang
kuat telah berhasil membawa Partai Konservatif memenangkan pemilu tahun 2015.
Namun, 13 bulan kemudian, gagasan referendum “Brexit” telah melahirkan
perceraian politik, dengan PM Cameron berupaya membujuk penduduk Inggris agar
tidak meninggalkan Uni Eropa (UE), dan Johnson berkampanye sebaliknya,
memperoleh dukungan agar Inggris dapat meninggalkan UE dengan segala beban
kewajibannya.
Isu
“Brexit” telah mengakibatkan anggota parlemen perempuan Inggris dari Partai
Buruh, Jo Cox, tewas ditembak orang yang menentangnya yang menyerukan Inggris
tetap dalam UE. Ia dianggap pengkhianat kemerdekaan dan kebebasan Inggris.
Kasus ini menyebabkan Westminster berduka, sehingga kampanye referendum
dihentikan untuk sementara. Hampir separuh anggota Partai Konservatif di
parlemen mendukung “Brexit,” menjadi bagian dari Euroskeptis.“Brexit” telah
menunjukkan rakyat Inggris yang terbelah pandangannya, antara mereka yang
melihat peluang dan mereka yang sangat mencemaskan dampaknya. Kebingungan dan
keresahan telah berdampak buruk terhadap kondisi ekonomi nasional. Dengan
barisan pendukung dan kalangan yang kontra hampir sama kuatnya, prospek Inggris
akibat ”Brexit” telah dipertaruhkan.Tetap bersama UE dinilai akan membuat
Inggris tidak banyak berubah, kecuali ada reformasi UE, yang bisa membuat UE
lebih maju dan dirasakan manfaatnya bagi seluruh negara anggotanya.
Meninggalkan UE menawarkan banyak perubahan, namun Inggris akan dinilai egois
karena melupakanidentitas Eropanya.
Dengan “Brexit,” Inggris akan mendapatkan kembali kedaulatan
nasionalnya, dan banyak lapangan kerja akan tercipta. Inggris dapat berhubungan
langsung dengan kekuatan ekonomi China, India, Rusia dan lain lain lewat WTO,
dan secara penuh dapat mengontrol perbatasan dari masuknya imigran. Dari
perspektif keamanan, peran Inggris tidak akan hilang ditelan Jerman dan
Prancis. Sebaliknya, warga Inggris tidak akan lagi memperoleh perlindungan
sosial UE. Inggris harus mengijinkan pergerakan bebas imigran dengan akses
pasar bebas yang dapat mengakibatkan berkurangnya pembayaran pajak. Aksi
investor yang kuatir telah mencampakkan posisi mata uang
Poundsterling,
dan membuat mereka mencari instrumen investasi yang lebih aman. Hal ini telah
menguatkan secara tajam nilai mata uang Yen dan Franc Prancis, serta emas.
“Brexit” telah diantisipasi akan memukul perbankan Jerman, yang memiliki
kepentingan yang besar terhadap Inggris. Di sisi lain, ia menyediakan peluang
bagi Frankfurt dan Paris untuk menggantikan London, sebagai salah satu pusat keuangan
strategis di Eropa, dan dunia. “Brexit” akan memicu larinya peluang bisnis dari
Inggris ke negara-negara UE lain, atau belahan dunia lain.Keluarnya Inggris
dari UE akanmenyebabkan lubang beban keuangan nasional sebesar US$ 42,4 miliar,
atau 30 miliar Poundsterling. Hal ini disebabkan oleh implikasinya terhadap
sektor keuangan, dengan harus dinaikkannya pajak penghasilan dan warisan di
dalam negeri, serta pemotongan anggaran belanja, khususnya yang harus diberikan
untuk jaminan kesehatan nasional melalui National Health Service. Pasar uang di
Inggris anjlok akibat meningkatnyapendukung “Brexit”. Implikasi lebih jauh akan
berpengaruh pada pengurangan anggaran belanja sekolah, rumah sakit, dan
angkatan bersenjata Inggris. Pengurangan anggaran belanja akan berdampak lebih
jauh pada tingkat kesejahteraan keluarga atau warga Inggris. Dampak negatif
sudah dapat dilihat dari kondisi indeks volatilitas, yang berada di posisi
tertinggi sejak krisis finansial 2008. Implikasi ekonomi akibat “Brexit”
mengancam
pertumbuhan global dan kejatuhan nilai saham. Indikasi kepanikan di kalangan
investor tampak di berbagai negara. Ini logis, karena peran Inggris yang
signifikan di Eropa, khususnya UE, mengingat Inggris adalah salah satu kekuatan
ekonomi besar dunia, dengan sekitar 50 persen perdagangan luar negeri nggris
adalah dengan UE. Sehingga, menguatnya isu “Brexit” telah menyebabkan
terjadinya goncangan pada pasar uang dan pengaliran arus modal keluar yang
deras dari UE.Bagaimanapun, “Brexit” akan menciptakan kondisi ketidakpastian
bagi Inggris, sehingga seperti berjudi dalam perdagangan berjangkanya. Sebab,
melakukan negosiasi dagang dari luar UE akan menjadi jauh lebih sulit daripada
sekadar memberikan nasihat agar Inggris segera keluar dari UE. Dalam jangka
panjang, “Brexit” dapat menghasilkan resiko kolosal yang tidak jelas
akhirnya.Selain diperkirakan buruk buat Inggris, jatuh dan terpuruknya nilai
mata uang Poundsterling justru bisa berdampak baik buat negara tersebut,
khususnya bagi pembayaran utangnya, mengingat utang Inggris pada umumnya dalam
denominasi Poundsterling. Melemahnya nilai mata uang Poundsterling juga dapat
menguatkan daya saing ekspor Inggris, mengingat komoditas
seperti
cocoa dan kontrak-kontrak gas alam, misalnya, dilakukan dalam denominasi
Poundsterling.
Secara positif, “Brexit” juga dinilai dapat sangat baik bagi perbaikan
kondisi
ekonomi nasional negeri itu, yang defisit neraca transaksi berjalannya sangat
besar.
“Brexit,”
secara spesifik, akan memprovokasi meningkatnya sentimen nasionalisme serta
muncul dan menguatnya pemimpin populis dan kanan di UE dengan ambisi kekuasaan
dan semangat anti-imigran yang tinggi, sehingga mengancam instabilitas politik
UE. Diperkirakan, Inggris akan menghadapi minimal 7 tahun ketidakpastian selama
negosiasi terkait hubungan baru dengan UE.
Penutup
“Brexit”
bukan lagi hal sederhana, seperti ”To Brexit or Not to Brexit.” Seperti
dikatakan Kompas, dampak “Brexit” adalah terancamnya integrasi dan persatuan
Eropa, karena ia akan menjadi model bagi negara UE lainnya untuk melakukan
eksodus
serupa,
apalagi jika eksperimen berani Inggris itu menunjukkan keberhasilannya.
Keseragaman dan tanggung jawab bersama dalam menanggung beban secara total
telah
menjadi
pertimbangan keluar dari integrasi, yang di awal dasawarsa 1990 menjadi solusi
atas masalah-masalah ekonomi dan politik yang terjadi di kawasan. Di Eropa,
integrasi kawasan telah memperlihatkan perkembangan yang anti-klimaks.
Antisipasi para analis internasional, seperti Duffield (1998), di dasawarsa
1990, yang memperkirakan integrasi kawasan sebagai trend, tampaknya terlalu
prematur disampaikan, mengingat perkembangannya berbeda. Kian eratnya hubungan
antar-
bangsa
di kawasan yang diharapkan langgeng terjadi, dalam kenyataannya, sedikit demi
sedikit menjadi longgar, sebelum dapat tercerai-berai kembali. Jadi, integrasi
kawasan tidak seindah yang telah diimpikan sebelumnya. “Brexit” meninggalkan
pertanyaan buat ASEAN, dan Indonesia khususnya, negara anggota terbesar, terkait
prospek komunitas Asia Tenggara itu. Walaupun berbeda dilihat dari sejarah
pembentukan dan pertumbuhannya, “Brexit” telah memberikan pelajaran sejarah
berharga buat ASEAN. Di Malaysia, dampaknya atas likuiditas pasar secara
menyeluruh sudah terjadi dalam beberapa minggu. Walaupun buat Indonesia
dampaknya diperkirakan tidak signifikan, namun buat emerging economiesakan
tampak, terkait nilai tukar Euro dan Poundsterling dalam transaksi dagang,
investasi, dan pinjaman. “Brexit” membuat pasar melakukan adjustmentsebelum
mencapai nilai yang wajar. Pendapat yang lebih buruk memperkirakan akan muncul
guncangan, karena Inggris adalah salah satu negara
berpengaruh
dalam UE, sehingga akan merepotkan distribusi dan penjualan, dan mengganggu
permintaan pasar komoditi Indonesia. Dengan “Brexit”, Indonesia harus
bernegosiasi
dengan Inggris, terpisah dari UE, sehingga akan merugikan potensi akses
pasar
Indonesia. Wajar, pelaku bisnis tekstil lebih senang jika Inggris tetap dalam
UE.
Para
investor harus mewaspadai jika hasil referendum tidak diharapkan pasar.
Terlepas
dari
itu semua, Komisi-komisi DPR yang berhubungan dengan isu ”Brexit” tampaknya
perlu
melakukan refleksi dan penilaian kembali dalam mendorong sejauh mana integrasi
masyarakat ASEAN dapat dilakukan. Untuk itu, DPR RI perlu mengantisipasi
dampak
“Brexit” yang menjadi fenomenal itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar