Pra-Krisis
Krisis di Thailand (dikenal dengan nama krisis Tom Yam Gung di Thailand;
Thai: วิกฤตต้มยำกุ้ง) terjadi seiring jatuhnya nilai mata uang baht setelah pemerintah Thailand
terpaksa mengambangkan baht karena sedikitnya valuta asing yang dapat
mempertahankan rate ke dolar Amerika Serikat. Waktu itu, Thailand menanggung
beban utang luar negeri yang besar sampai-sampai negara ini dapat dinyatakan
bangkrut sebelum nilai mata uangnya jatuh.
Ekonomi Thailand berkembang menjadi gelembung ekonomi yang digerakkan oleh
dana panas. Dari 1985 sampai 1995, Ekonomi Thailand tumbuh rata-rata 9%
(menakjubkan). Baht dipatok pada 25 per dolar AS. Seiring pulihnya ekonomi Amerika
Serikat dari resesi pada awal 1990-an, Federal Reserve Bank di bawah pimpinan
Alan Greenspan mulai menaikkan suku bunga A.S. untuk menurunkan inflasi. Hal
ini menyebabkan dana panas di Thailand keluar deras menuju AS.
Pada saat yang bersamaan, pertumbuhan ekspor Asia Tenggara melambat drastis
pada musim semi 1996 sehingga memperburuk posisi akun berjalannya yang
sebelumnya sudah defisit.
Pada tanggal 14-15 Mei 1997, mata uang baht, terpukul oleh serangan
spekulasi besar. Pada tanggal 30 Juni, Perdana Mentri Chavalit Yonchaiyudh
berkata bahwa dia tidak akan mendevaluasi baht, tetapi administrasi Thailand
akhirnya mengambangkan mata uang lokal tersebut pada 2 Juli 1997.
Dampak
Baht jatuh ke titik terendah pada posisi 56 per dolar AS pada Januari 1998.
Pasar saham Thailand jatuh75% pada 1997. Finance One, perusahaan keuangan
Thailand terbesar bangkrut.
Hal ini lantas memicu kekhawatiran negara-negara satu kawasan, dan memang
terbukti bahwa depresiasi bath turut menyeret nilai mata uang lain, termasuk
won Korea Selatan, dollar Singapura, dollar Hongkong, ringgit Malaysia, peso
Philipina, dan rupiah Indonesia.
Secara ekonomi, pemerintahan yang sedang berkuasa menjadi tidak lagi
legitimate. Akibatnya, pemerintahan semi demokratis PM Chavalit tidak mampu
mengambil kebijakan ekonomi efektif dan tegas dalam rangka memperbaiki
kepercayaan investor yang sudah terlanjur telah menarik keluar investasi asing
mereka. Hal ini meningkatkan tuntutan berbagai lapisan masyarakat agar
pemerintahan koalisi PM Chavalith mengundurkan diri.
Selain itu, pihak yang memiliki pengaruh dan peran dalam menyebabkan krisis
ekonomi 1997 secara politik adalah teknokrat atau birokrasi. Para teknokrat
bertanggung jawab terhadap kebijakan-kebijakan makroekonomi di Thailand, khususnya
mereka yang berada di Bank Sentral Thailand (BoT). Krisis ekonomi 1997
menunjukkan lemahnya kemampuan Bank Sentral Thailand (BoT) mengantisipasi
apresiasi nilai tukar riil mata uang bath terhadap dollar AS.
Resolusi Krisis
Untuk mengatasi krisis ekonomi di Thailand, pemerintah Thailand
mengeluarkan berbagai kebijakan.
Pertama, pemerintahan Thailand, PM Chuan memberlakukan pengontrolan lalu
lintas dan perdagangan bath melalui mekanisme two-tier system. Kebijakan ini
diharapkan mampu menjaga terjadinya stabilitas nilai tukar pada level
yang lebih rendah. Hal tersebut dapat menyebabkan industri dapat kembali
beroperasi secara normal dan baik. Misalnya, ekspor produk agroindustri lebih
mampu bersaing serta bahan baku industri dapat diimpor dengan harga lebih
murah. Selain itu, diharapkan adanya kebijakan ini mampu mempertahankan
cadangan devisa negara.
Kedua, berusaha mengembalikan kepercayaan para investor asing agar masalah
krisis likiuditas dalam cadangan devisa Thailand dapat semakin teratasi.
Pemerintah PM Chuan tetap mempertahankan kerja sama dengan IMF. Pemerintah PM
Chuan mendapatkan kesempatan besar untuk memperbaiki keadaan ekonomi domestik
Thailand dari IMF yakni melalui bantuan bersifat finansial dan teknis. Pada11
Agustus, IMF membuka paket penyelamatan dengan lebih dari 16 miliar dolar AS
(kira-kira 160 trilyun Rupiah). Pada 20 Agustus IMF menyetujui, paket
"bailout" sebesar 3,9 miliar dolar AS.
Ketiga, mengadakan reformasi finansial atau keuangan. Reformasi finansial
dilakukan oleh pemerintahan PM Chuan. Di antara reformasi keuangan tersebut
adalah penyelesaian semua aset milik ke-56 perusahaan-perusahaan keuangan yang
ditutup itu hingga 31 Desember 1998 melalui the Financial Restructuating
Agency(FRA) dan the Asset Management Corporation(AMC), perusahaan-perusahaan
keuangan akan direkapitalisasi pada 1998 seiring dengan peraturan yang ketat,
memperbaiki undang-undang kepailitan (bankruptcy law), dan pemerintah menjamin
tidak akan melakukan penutupan terhadap perusahaan-perusahaan keuangan lain.
Keempat, pemerintah Thailand membuat kebijakan untuk mendorong biaya
produksi dan ekspor. Pelaksanaan kebijakan ini dilaksanakan dalam rangka untuk
mengembangkan proyek-proyek investasi padat karya yang didanai dari pinjaman
Bank Dunia dan Miyazawa Iniatiative, Jepang. Dari kebijakan ini maka diharapkan
adanya peningkatan daya beli rakyat dan merangsang kegiatan produksi. Kebijakan
yang dikeluarkan pemerintah (Paket 30 Maret 1999) itu berisi program pembiayaan
sebesar 53 milyar bath, pengurangan pajak sebesar 54,7 milyar bath per tahun,
serta pengurangan harga energi sebesar 23,8 milyar bath per tahun.
Kelima, dalam sektor-sektor industri yang selama ini sangat terbatas bagi
penanaman modal asing akhirnya disetujui oleh Parlemen Thailand di akhir 1998.
Contohnya, produsen mobil asal Jepang mulai memiliki 100% industri mobil.
Tetapi sektor-sektor industri tersebut tidak termasuk bagian sektor ekspor dan
jasa turisme.Thailand tidak hanya mengandalkan sektor industri namun juga
sektor pertanian khususnya teknologi pertanian yang sempat ditinggalkan.
Dengan berbagai kebijakan ini, perekonomian Thailand berangsur-angsur
pulih. Hal ini bisa dilihat dari indikator-indikator ekonomi pada pertengahan
1999. Misalnya, mata uang Bath mulai terlihat stabil, nilai indeks harga saham
SET hampir meningkat dua kali lipat, cadangan devisa mengalami kenaikan pesat,
hutang luar negeri turun, dan angka inflasi mengalami penurunan.
sumber:
Krisis Finansial Asia 1997. wikipedia.org. diakses pada 4 april 2017
Makalah Krisis Thailand. korewa87.blogspot.in.
diakses pada 4 april 2017
sumber gambar:
Marketbisnis.com. diakses pada 4 april 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar