Latest News

Jumat, 07 April 2017

Second Group members

Let me Introduce to you All Members of our Group.

Kami adalah kelompok 2 , dipilih berdasarkan Demokrasi. kenapa Demokrasi? karna kami bebas untuk memilih menjadi anggota kelompok siapapun. Alur pemilihan kelompok ini agak berbeda dengan sebelumnya. Kami diminta untuk memilih 3 Pria dan 3 Wanita untuk menjadi Pemimpin/Ketua Kelompok lalu dikerucutkan menjadi 2 orang yang merebutkan previllage. dan kelompok kami tidak mendapatkannya.

Previllage tersebut kalau dimanfaatkan bisa menguntungkan, karna kita bisa memilih siapa yang akan menjadi anggota kelompok kita tanpa adanya intervensi dari kelompok lain. Pak Rahman Faisal atau yang biasa kami kenal Mr ical, menginstruksikan untuk para mahasiswa lainnya bebas untuk memilih kelompok, dan mereka sudah membuat ancang-ancang ke depan kelas untuk memilih kelompok impian mereka.

Melihat situasi tersebut, Pak ical langsung membuat keputusan, dan Febri yang duduk paling belakang mendapatkan previllage untuk memilih kelompok impiannya dan memilih satu anggota lainnya untuk bersamanya dan terkumpulah Andika, Nur siti, Tira , Sofyan , dan Reza sebagai ketua kelompok.

Terima Kasih kepada Bapak Rahman Faisal telah membuat kita Keluar zona nyaman kita sehingga mendapatkan pengalaman yang luar biasa melalui tugas ini. dan juga para pembaca setia yang telah membaca Blog kami, serta terima kasih kepada para Sumber yang telah membantu kami dalam menyelesaikan Blog ini. dan  kami mohon Maaf karena Masih banyak kekurangan dalam penulisan di blog ini dan Blog ini dibuat untuk menginspirasi Kaum muda dalam memulai bisnis melalui setiap postingan yang kami buat.






Best Regards,
Team Inspirasi Bisnis ( Kelompok 2 )



RAKSASA EKONOMI DUNIA, LEMAH





 Photo From Merdeka.com

Setelah mampu bertahan menerjang badai krisis di tahun 2008, di tahun 2013 China merasa efek kebijakan fiscal yang dilakukan untuk mempertahankan perekeonomiannya.Akibatnya total utang China bertambah cukup signifikan yang juga diikuti nilai ekspor mengalamin kelemahan tajam hingga saat ini.
Laju pertumbuhan ekonomi China pada tahun 2012 tercatat 7,8% yang merupakan laju pertumbuhan terlemah selama 13 tahun terakhir. Pertumbuhan menurun selama tujuh kuartal berturut-turut, tetapi selama tiga bulan terakhir tahun 2012, pertumbuhan meningkat lagi.Nilai index saham China di pasar bursa yang terus melorot memicu ketakutan global. Krisis berkepanjangan dicemaskan akan melemahkan ekonomi dunia dan menyeret banyak Negara ke jurang resesi.
Bursa Shanghai China anjlok sampai 8%. Agar tidak semakin merosot, lebih dari 1.300 perusahaan meminta otoritas bursa menghentikan perdagangan tetapi hasilnya tidak membantu, bursa Shanghai ditutup turun 5,9%. Penurunan saham ini bukan hanya sekali terjadi karena dalam jangka waktu satu bulan bursa saham Shanghai telah mengalami penurunan lebih dari 30%. Penjelasan lebih luasnya adalah pertumbuhan ekonomi di China melambat dan ada kekhawatiran akan menganggu pasar.
Dugaan penyebab turunnya bursa Shanghai China salah satunya karena bursa Shanghai dari awal tahun naik terlalu tinggi, hingga tidak terlihat adanya korelasi antara sector finansial dengan sector rill.Pada kenaikan saham di bursa Shanghai pada awal tahun karena investor berharap pemerintah China menggelontorkan stimulus untuk membuat gelembung ekonomi bisa kempis secara bertahap, tetapi setelah data yang dilansir terakhir gelembung ekonomi bukan kempis secara bertahap melainkan pecah.

KRISIS

Adanya krisis ekonomi yang terjadi pada pasar saham di China disebabkan karena banyaknya investor membeli saham dengan utang.Dan ketika saham pertama mulai jatuh, banyak investor menjual saham mereka dengan cepat untuk melunasi hutang.Hal ini menjadi pemicu merosot tajam pasar saham China.Hingga memaksa Bank Sentral China untuk menurunkan suku bunga.Bahkan kondisi ini diperkirakan bisa lebih buruk.Penyelamatan pasar saham juga dilakukan oleh broker China dengan membeli saham di Shanghai Composite. Namun hal ini diyakini akan menimbulkan masalah baru.
Pasar saham China tenggelam dengan cepat beberapa waktu terakhir.China saat ini adalah mitra dagang terbesar kedua bagi Eropa dan Amerika Serikat.Selain itu, China adalah salah satu konsumen komoditas terbesar dunia. Penurunan harga saham tentu akan mempengaruhi ekonomi dunia secara langsung.
Selain itu bukan hanya saham, namun harga komoditi lainnya juga ikut terpengaruh, terutama minyak mentah.Dan banyak yang menyalahkan Yunani dan penurunan nilai tukar Euro, tidak banyak yang berpikir kalau kondisi ini terjadi karena pengaruh kondisi di China.Harga minyak mentah sudah jatuh sepertiga saat mulai terjadi penurunan bursa saham.Namun jatuhnya harga saham di Cina juga ikut menaikkan beberapa mata uang yang dilihat sebagai investasi aman, seperti yen dan franc swiss.

DAMPAK

Dampak Bagi Negara China
Dampak langsung dari merosotnya harga saham di China sebenarnya dalam tingkat sedang.Hal itu dikarenakan di pasar China tidak begitu banyak investasi asing, sehingga tidak terlalu menjadi masalah.Menurut konsultan di London, Capital Economics, orang asing hanya punya 2% saham.Namun yang menjadi kekhawatiran ialah apakah ini menjadi cerminan masalah perlambatan ekonomi yang lebih besar di China yang berdasar pada evaluasi yuan awal bulan ini.

Dampak Bagi Penduduk China
Penduduk yang meminjam uang untuk membeli saham mengalami dampak terparah.Tapi menurut kebanyakan warga China, masalah yang lebih besar adalah kesehatan ekonomi Negara tersebut.Jika China bisa melakukan transisi ke tingkat pertumbuhan yang lebih lambat dan lebih berkelanjutan, ekonomi masih cukup cepat untuk meningkatkan standar hidup buat sebagian besar orang. Perlambatan yang lebih mengganggu akan menyebabkan kegagalan bisnis dan kehilangan pekerjaan bagi para penduduk China.

Dampak Bagi Ekonomi Global
“Perlambatan ekonomi di China adalah ancaman terbesar ekonomi dunia”, ujar mantan kepala ekonom Dana Moneter Internasional, IMF.
Bank of International Settlements atau lembaga penelitian global untuk bank-bank sentral, mengatakan bahwa rasio utang China pada Produk Domestik Bruto (PDB) berada di 30,1%, menambah ketakutan bahwa ledakan ekonomi China berdasar pada gelembung kredit yang tidak stabil.
Berikut adalah rincian yang paling terpengaruhi akibat ekonomi melambat :
1.      Ekspor Komoditas
Negara paling terpengaruh oleh perlambatan ekonomi China mungkin bagi mereka yang mengekspor terbesar ke China terutama eksportir komoditas seperti Australia. Permintaan China menurun untuk bahan mentah dan komoditas akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi Negara eksportir komoditas tersebut.
Demikian juga Negara sub-sahara Afrika. Tetapi ada sejumlah dampak Negara yang akan terkonsentrasi antara lain Angola, Kongo, Guinea, Republik Demokratik Kongo dan Afrika Selatan. Seiring pertumbuhan China melambat, impor pun telah jatuh sebesar 8% dari tahun lalu seperti yang terlihat dalam data Juli 2015.Sebelumnya impor juga turun sebesar 6% pada bulan Juni.Ekonomi China melambat berdampak terhadap harga komoditas yang tertekan. Ini juga menyebabkan puluhan ribu pegawai kehilangan pekerjaan terutama perusahaan minyak dan batu bara
2.      Eropa
Tidak hanya komoditas yang menurun, impor modal juga telah jatuh sehingga mempengaruhi Negara-negara seperti Jerman.Ekspor Jerman ke China mencapai sekitar 2% dari PDB. Karena pihak Jerman sendiri menyumbang sebagian besar ekspor Uni Eropa ke China sehingga Negara-negara yang ada di Eropa juga akan merasakan dampaknya. Jadi perlambatan ekonomi di China akan mempengaruhi Eropa yang juga dirasakan perusahaan seperti BMW. Apalagi penjualan perusahaan tersebut melambat di China.
3.      Amerika Serikat
Ekspor dari AS ke China sebaliknya adalah kurang dari 1 % dari PDB.Hal ini berlawanan dengan Jepang yang ekspornya mencapai 3% dari PDB. Tetapi hal tersebut diyakinkan bahwa tidak akan mempengaruhi perusahaan multinasional AS. Misalnya Apple, penjualan Apple ke China lebih besar dari pada AS.
4.      Pasar Keuangan
Perlambatan China paling tampak terlihat di pasar keuangan.Pasar saham China sebagaian besar tertutup untuk investor luar sehingga tidak memiliki dampak langsung untuk investor global.
KEBIJAKAN
China tidak terlepas dari kebijakan moneter yang dikeluarkan oleh pemerintahnya, yaitu aliran modal yang masuk ke dalam negeri dan system nilai tukar tetap yang diberlakukan oleh China.Pemerintah mempunyai beberapa opsi untuk menstimulasi ekonomi yang bisa berdampak pada pasar saham, seperti :
-          Memberlakukan pemotongan suku bunga.
-          Mengurangi aturan-aturan pinjaman di bank.
-          Meningkatkan belanja.
-          Mendorong yuan turun lebih jauh lagi untuk mendorong ekspor.
Adapun yang dilakukan oleh Bank Sentral China untuk terus melanjutkan berbagai langkah ekonomi untuk mencegah krisis finansial di Negara ini. Bank Sentral China merilis pernyataan bahwa tingkat suku bunga pinjaman dan deposito akan diturunkan hingga 25 poin sehingga mampu membantu perusahaan dan pabrik untuk meningkatkan produksi serta mereduksi resiko perdagangan dan produksi di Negara ini. Fluktuasi di pasar saham China serta anjloknya indeks hingga 9% dalam beberapa hari terakhir. Bersamaan dengan kebijakan tersebut, polisi China juga meningkatkan operasi menindak kejahatan pencucian uang dan lembaga-lembaga finansial illegal termasuk bank-bank “bawah tanah” di Negara ini, yang menurut pada pejabat Beijing mereka berusaha merusak system ekonomi Negara.
Mengingat perekonomian China sebagai salah satu factor pertumbuhan ekonomi dunia, sangat penting untuk banyak kekuatan ekonomi dan bahkan perusahaan-perusahaan dunia, maka masalah yang muncul juga akan memperngaruhi perekonomian global. Sekarang perhatian dunia sedang focus pada upaya dan langkah-langkah yang diambil oleh Pemerintah China.
Untuk mengatasi krisis ekonomi di China, pemerintah China mengeluarkan berbagaikebijakan :
1.      Kebijakan Moneter Kuantitatif
Bank Sentral China membuat kebijakan memangkas suku bunga acuan untuk pinjaman sebesar 25 poin. Sejak November 2014 Bank Sentral China telah melakukan pemangkasan suku bunga acuan sebanyak 3 kali.Karena penurunan suku bunga acuan untuk pinjaman bisa meredakan angka kredit bermasalah sekaligus bisa mendorong peningkatan ekonomi.
2.      Kebijakan Moneter Kualitatif
Mengawasi bentuk-bentuk pinjaman dan investasi yang dilakukan oleh bank-bank perdagangan.Tujuan utama kebijakan ini bukan untuk mengawasi perkembangan penawaran uang melainkan untuk mempengaruhi jenis-jenis pinjaman yang diberikan institusi keuangan.Ini memungkinkan Bank Sentral menggalakan pertumbuhan ekonomi ke arah yang diharapkan.
3.      Kebijakan Fiskal
Pemerintah China mengeluarkan kebijakan Fiskal Ekspansif yang bertujuan untuk meyakinkan para investor bahwa pemerintah China mengawasi hutang-hutangnya.Ekonomi China terpengaruh oleh pemulihan ekonomi global yang lemah dan kendala domestic yang dihadapi termasuk kebutuhan untuk mengurangi tingkat hutang secara bertahap.
4.      Kebijakan Menekan Pengeluaran
Langkah pemerintah untuk menstabilkan neraca pembayaran yang sedang dalam keadaan deficit dengan melakukan tindakan –tindakan yang akan mengurangi pengeluaran agregat. Kebijakan menekan dapat dilaksanakan dengan mengambil salah satu atau gabungan langkah seperti :
§  Menaikkan pajak pendapatan
§  Menaikkan tingkat bunga
§  Mengurangi pengeluaran pemerintah
5.      Kebijakan Memindahkan Pengeluaran
Tindakan pemerintah untuk menstabilkan sector luar negeri yang sifatnya mendorong masyarakat mengurangi impor, melakukan konsumsi yang lebih banyak ke atas barang – barang buatan dalam negeri dan meningkatkan ekspor.
6.      Melakukan devaluasi mata uang Yuan ( penurunan nilai mata uang dalam negeri terhadap mata uang luar negeri). China melakukan devaluasi mata uang Yuan sebesar hamper 3% terhadap dollar AS. Walau hanya 3% penurunan tersebut merupakan penurunan terbesar sejak 1994. Devaluasi Yuan tersebut terjadi setelah China merilis data ekspor yang mengalami penurunan 8,3% pada Juli 2015. Pelemahan mata uang ini diharapkan mampu memacu pertumbuhan ekspor China dan meningkatkan daya saing produk domestic.
Dampak yang ditimbulkan dari devaluasi Yuan yaitu :
§  Negara yang mengekspor produk ke China akan dirugikan
§  Negara yang mengimpor banyak produk dari China akan diuntungkan.
§  Penurunan nilai tukar yuan dapat memicu terjadinya currency war (perang mata uang).
§  Menimbulkan dugaan pelemahan ekonomi China akan berlanjut. Berdampak pada penurunan harga komoditas.
§  Menimbulkan spekulasi akan penundaan kenaikan suku bunga AS.

Krisis Ekonomi Negeri Gajah Putih





Pra-Krisis

Krisis di Thailand (dikenal dengan nama krisis Tom Yam Gung di Thailand; Thai: วิกฤตต้มยำกุ้ง) terjadi seiring jatuhnya nilai mata uang baht setelah pemerintah Thailand terpaksa mengambangkan baht karena sedikitnya valuta asing yang dapat mempertahankan rate ke dolar Amerika Serikat. Waktu itu, Thailand menanggung beban utang luar negeri yang besar sampai-sampai negara ini dapat dinyatakan bangkrut sebelum nilai mata uangnya jatuh.

Ekonomi Thailand berkembang menjadi gelembung ekonomi yang digerakkan oleh dana panas. Dari 1985 sampai 1995, Ekonomi Thailand tumbuh rata-rata 9% (menakjubkan). Baht dipatok pada 25 per dolar AS. Seiring pulihnya ekonomi Amerika Serikat dari resesi pada awal 1990-an, Federal Reserve Bank di bawah pimpinan Alan Greenspan mulai menaikkan suku bunga A.S. untuk menurunkan inflasi. Hal ini menyebabkan dana panas di Thailand keluar deras menuju AS.

Pada saat yang bersamaan, pertumbuhan ekspor Asia Tenggara melambat drastis pada musim semi 1996 sehingga memperburuk posisi akun berjalannya yang sebelumnya sudah defisit.

Pada tanggal 14-15 Mei 1997, mata uang baht, terpukul oleh serangan spekulasi besar. Pada tanggal 30 Juni, Perdana Mentri Chavalit Yonchaiyudh berkata bahwa dia tidak akan mendevaluasi baht, tetapi administrasi Thailand akhirnya mengambangkan mata uang lokal tersebut pada 2 Juli 1997.

Dampak

Baht jatuh ke titik terendah pada posisi 56 per dolar AS pada Januari 1998. Pasar saham Thailand jatuh75% pada 1997. Finance One, perusahaan keuangan Thailand terbesar bangkrut.

Hal ini lantas memicu kekhawatiran negara-negara satu kawasan, dan memang terbukti bahwa depresiasi bath turut menyeret nilai mata uang lain, termasuk won Korea Selatan, dollar Singapura, dollar Hongkong, ringgit Malaysia, peso Philipina, dan rupiah Indonesia.

Secara ekonomi, pemerintahan yang sedang berkuasa menjadi tidak lagi legitimate. Akibatnya, pemerintahan semi demokratis PM Chavalit tidak mampu mengambil kebijakan ekonomi efektif dan tegas dalam rangka memperbaiki kepercayaan investor yang sudah terlanjur telah menarik keluar investasi asing mereka. Hal ini meningkatkan tuntutan berbagai lapisan masyarakat agar pemerintahan koalisi PM Chavalith mengundurkan diri.

Selain itu, pihak yang memiliki pengaruh dan peran dalam menyebabkan krisis ekonomi 1997 secara politik adalah teknokrat atau birokrasi. Para teknokrat bertanggung jawab terhadap kebijakan-kebijakan makroekonomi di Thailand, khususnya mereka yang berada di Bank Sentral Thailand (BoT). Krisis ekonomi 1997 menunjukkan lemahnya kemampuan Bank Sentral Thailand (BoT) mengantisipasi apresiasi nilai tukar riil mata uang bath terhadap dollar AS.

Resolusi Krisis

Untuk mengatasi krisis ekonomi di Thailand, pemerintah Thailand mengeluarkan berbagai kebijakan.

Pertama, pemerintahan Thailand, PM Chuan memberlakukan pengontrolan lalu lintas dan perdagangan bath melalui mekanisme two-tier system. Kebijakan ini diharapkan mampu  menjaga terjadinya stabilitas nilai tukar pada level yang lebih rendah. Hal tersebut dapat menyebabkan  industri dapat kembali beroperasi secara normal dan baik. Misalnya, ekspor produk agroindustri lebih mampu bersaing serta bahan baku industri dapat diimpor dengan harga lebih murah. Selain itu, diharapkan adanya kebijakan ini mampu mempertahankan cadangan devisa negara.

Kedua, berusaha mengembalikan kepercayaan para investor asing agar masalah krisis likiuditas dalam cadangan devisa Thailand dapat semakin teratasi. Pemerintah PM Chuan tetap mempertahankan kerja sama dengan IMF. Pemerintah PM Chuan mendapatkan kesempatan besar untuk memperbaiki keadaan ekonomi domestik Thailand dari IMF yakni melalui bantuan bersifat finansial dan teknis. Pada11 Agustus, IMF membuka paket penyelamatan dengan lebih dari 16 miliar dolar AS (kira-kira 160 trilyun Rupiah). Pada 20 Agustus IMF menyetujui, paket "bailout" sebesar 3,9 miliar dolar AS.

Ketiga, mengadakan reformasi finansial atau keuangan. Reformasi finansial dilakukan oleh pemerintahan PM Chuan. Di antara reformasi keuangan tersebut adalah penyelesaian semua aset milik ke-56 perusahaan-perusahaan keuangan yang ditutup itu hingga 31 Desember 1998 melalui the Financial Restructuating Agency(FRA) dan the Asset Management Corporation(AMC), perusahaan-perusahaan keuangan akan direkapitalisasi pada 1998 seiring dengan peraturan yang ketat, memperbaiki undang-undang kepailitan (bankruptcy law), dan pemerintah menjamin tidak akan melakukan penutupan terhadap perusahaan-perusahaan keuangan lain.

Keempat, pemerintah Thailand membuat kebijakan untuk mendorong biaya produksi dan ekspor. Pelaksanaan kebijakan ini dilaksanakan dalam rangka untuk mengembangkan proyek-proyek investasi padat karya yang didanai dari pinjaman Bank Dunia dan Miyazawa Iniatiative, Jepang. Dari kebijakan ini maka diharapkan adanya peningkatan daya beli rakyat dan merangsang kegiatan produksi. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah (Paket 30 Maret 1999) itu berisi program pembiayaan sebesar 53 milyar bath, pengurangan pajak sebesar 54,7 milyar bath per tahun, serta pengurangan harga energi sebesar 23,8 milyar bath per tahun.

Kelima, dalam sektor-sektor industri yang selama ini sangat terbatas bagi penanaman modal asing akhirnya disetujui oleh Parlemen Thailand di akhir 1998. Contohnya, produsen mobil asal Jepang mulai memiliki 100% industri mobil. Tetapi sektor-sektor industri tersebut tidak termasuk bagian sektor ekspor dan jasa turisme.Thailand tidak hanya mengandalkan sektor industri namun juga sektor pertanian khususnya teknologi pertanian yang sempat ditinggalkan.

Dengan berbagai kebijakan ini, perekonomian Thailand berangsur-angsur pulih. Hal ini bisa dilihat dari indikator-indikator ekonomi pada pertengahan 1999. Misalnya, mata uang Bath mulai terlihat stabil, nilai indeks harga saham SET hampir meningkat dua kali lipat, cadangan devisa mengalami kenaikan pesat, hutang luar negeri turun, dan angka inflasi mengalami penurunan.

sumber:
Krisis Finansial Asia 1997. wikipedia.org. diakses pada 4 april 2017

Makalah Krisis Thailand. korewa87.blogspot.in. diakses pada 4 april 2017

sumber gambar:
Marketbisnis.com. diakses pada 4 april 2017.

Brexit



Photo From Okezone.com

Referendum “Brexit,” keluarnya Inggris dari Uni Eropa (UE) telah dilakukan pada 23 Juni 2016. Wacana “Brexit” telah memperlihatkan implikasinya, bahkan sejak referendumbelumdimulai.Implikasi jangka panjang akan terjadi dan dialami secara langsung oleh (rakyat) Inggris dan UE, serta beberapa bagian dunia. Di dalam negeri, dan di kawasan Eropa, “Brexit” telah enyebabkan keretakan. Dampaknya juga dirasakan Indonesia, walaupun diperkirakan tidak sehebat yang dihadapi Inggris dan UE. Kajian singkat ini berupaya menjelaskan latar belakang dan implikasi “Brexit” sebelum dan pasca-referendum.

Pendahuluan
“Brexit” adalah terminologi yang
populer belakangan dalam hubungannya dengan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (UE), melalui referendum di Inggris pada23 Juni 2016. Referendum ini berkembang
fenomenal dalam 6 bulan belakangan. Anggota UE lain mengantisipasi dengan cemas hasil dan implikasinya secara luasdan dalam jangka panjang. Sebagian besar mengharapkan Inggris tetap menjadi bagianUE, sebagian lagi menyiapkan tindakan
darurat, dan bahkan balasan, jika Inggris keluar. “Brexit” adalah akronim dari Britain
exit, yang bermakna keluarnya Inggris dari integrasi UE yang sekarang terdiri dari 28
negara. “Brexit” digunakan untuk mengritikdan menyudutkan Brussels, Belgia, markas UE yang dinilai selama ini menggerogoti kedaulatan Inggris dengan beban-beban regulasinya.

Sebagai organisasi, UE telah didirikan sejak lama, yakni pada tahun 1952, dengan peran dominan Prancis dan Jerman dalammerintis dan mengonsolidasikannya hingga menjadi sebuah sistem yang bekerja dengan mekanisme supranasional dan antar-pemerintahan. Dalam beberapa bidang, berbagai keputusan ditetapkan melalui
cara musyawarah-mufakat di antara 28 negara anggotanya. Sebagai konsekuensinya,
setiap negara anggota telah menyerahkankedaulatannya dan tunduk pada mekanisme
bersama, ketentuan UE. Inggris baru bergabungdengan UE pada 1 Januari tahun 1973.

Kelompok pro-“Brexit” berpendapat Inggris akan lebih baik jika bisa mengatur ekonomi dan imigrasinya sendiri, sedangkan menurut yang anti-“Brexit,” walaupun bergabung dengan UE, Inggris tidak mengadopsi seluruhnya idealisme UE, antara lain tidak memberlakukan visa Schengen dan mata uang Euro. Titik balik menegosiasikan
keanggotaanya dalam UE muncul 22 Januari 2013, dalam janji kampanye PM David
Cameron dari Partai Konservatif.

Penyebab
Integrasi UE, sejak awal, membutuhkan pengorbanan besar, terutama dalam belanja ekonomi yang harus dikeluarkan para anggotanya. Juga, dengan Inggris, yang
bebannya tidak hanya harus ditanggung paraelit politik, namun juga penduduknya. Salah satu pengorbanan terbesar Inggris adalah berkurangnya kedaulatan nasional, yang
harus ditransaksikan dengan kepentingan Eropa secara menyeluruh. Kedaulatan nasional tergerus dengan dibangunnya entitas supranasional baru, yang melibatkan
negara-negara kecil anggotanya, yang sarat dengan beban ekonomi nasional, hutang luar negeri, bahkan yang hampir bangkrut, seperti Yunani, dan angka pengangguran yang besar. Hal ini menyulitkan Inggris untuk melesat dengan potensi ekonominya yang besar.Kebijakan UE yang terlalu ramah dalam imigrasi mendorong niat Inggris
keluar dari UE.

Hal ini tampak di kalangan mereka yang sangat tidak toleran terhadap
orang asing, dengan berbagai perbedaan latar belakang, seperti kondisi ekonomi, pendidikan, agama, dan kultur. Dewasa ini terdapat 5,4 juta imigran, sekitar 8,4% dari
total penduduk Inggris. Inggris menjadi penerima imigran terbesar kedua setelah Jerman dengan 7,5 juta imigran atau 9,3%. Sebanyak 5,23 juta imigran diprediksi membanjiri Inggris sampai tahun 2030. Sikap Brussels yang mengharuskan para anggotanya berbagi beban mengatasi pengungsi yang mengalir ke daratan Eropa telah memaksa London juga harus membuka pintu lebar-lebar atas pengungsi. Mereka sudah berada di kamp penampungan di perbatasan Prancis, dan siap memasuki daratan Inggris lewat jalan tol dan KA. Perilaku pengungsi imigran yang beringas, ditambah lagi dengan biaya dan pengorbanan lebih besar yang harus dikeluarkan Pemerintah Inggris, telah membuat sebagian elit politik dan rakyat Inggris harus mengambil langkah drastis
dengan referendum pada 23 Juni 2016.

Implikasi Luas
Wacana “Brexit” telah menyebabkan 3 jenis perpecahan, di antara partai di Inggris, negara-negara Eropa, dan pendudukInggris. Di politik nasional, “Brexit” telah
menyebabkan perpecahan tokoh politik Inggris, yang selama ini selalu memiliki banyak persamaan dalam sikap, seperti antara PM David Cameron dan mantan Walikota London, Boris Johnson. PM Cameron dan Johnson dengan persamaansikapnya yang kuat telah berhasil membawa Partai Konservatif memenangkan pemilu tahun 2015. Namun, 13 bulan kemudian, gagasan referendum “Brexit” telah melahirkan perceraian politik, dengan PM Cameron berupaya membujuk penduduk Inggris agar tidak meninggalkan Uni Eropa (UE), dan Johnson berkampanye sebaliknya, memperoleh dukungan agar Inggris dapat meninggalkan UE dengan segala beban kewajibannya.
Isu “Brexit” telah mengakibatkan anggota parlemen perempuan Inggris dari Partai Buruh, Jo Cox, tewas ditembak orang yang menentangnya yang menyerukan Inggris tetap dalam UE. Ia dianggap pengkhianat kemerdekaan dan kebebasan Inggris. Kasus ini menyebabkan Westminster berduka, sehingga kampanye referendum dihentikan untuk sementara. Hampir separuh anggota Partai Konservatif di parlemen mendukung “Brexit,” menjadi bagian dari Euroskeptis.“Brexit” telah menunjukkan rakyat Inggris yang terbelah pandangannya, antara mereka yang melihat peluang dan mereka yang sangat mencemaskan dampaknya. Kebingungan dan keresahan telah berdampak buruk terhadap kondisi ekonomi nasional. Dengan barisan pendukung dan kalangan yang kontra hampir sama kuatnya, prospek Inggris akibat ”Brexit” telah dipertaruhkan.Tetap bersama UE dinilai akan membuat Inggris tidak banyak berubah, kecuali ada reformasi UE, yang bisa membuat UE lebih maju dan dirasakan manfaatnya bagi seluruh negara anggotanya. Meninggalkan UE menawarkan banyak perubahan, namun Inggris akan dinilai egois karena melupakanidentitas Eropanya.

Dengan “Brexit,” Inggris akan mendapatkan kembali kedaulatan nasionalnya, dan banyak lapangan kerja akan tercipta. Inggris dapat berhubungan langsung dengan kekuatan ekonomi China, India, Rusia dan lain lain lewat WTO, dan secara penuh dapat mengontrol perbatasan dari masuknya imigran. Dari perspektif keamanan, peran Inggris tidak akan hilang ditelan Jerman dan Prancis. Sebaliknya, warga Inggris tidak akan lagi memperoleh perlindungan sosial UE. Inggris harus mengijinkan pergerakan bebas imigran dengan akses pasar bebas yang dapat mengakibatkan berkurangnya pembayaran pajak. Aksi investor yang kuatir telah mencampakkan posisi mata uang
Poundsterling, dan membuat mereka mencari instrumen investasi yang lebih aman. Hal ini telah menguatkan secara tajam nilai mata uang Yen dan Franc Prancis, serta emas. “Brexit” telah diantisipasi akan memukul perbankan Jerman, yang memiliki kepentingan yang besar terhadap Inggris. Di sisi lain, ia menyediakan peluang bagi Frankfurt dan Paris untuk menggantikan London, sebagai salah satu pusat keuangan strategis di Eropa, dan dunia. “Brexit” akan memicu larinya peluang bisnis dari Inggris ke negara-negara UE lain, atau belahan dunia lain.Keluarnya Inggris dari UE akanmenyebabkan lubang beban keuangan nasional sebesar US$ 42,4 miliar, atau 30 miliar Poundsterling. Hal ini disebabkan oleh implikasinya terhadap sektor keuangan, dengan harus dinaikkannya pajak penghasilan dan warisan di dalam negeri, serta pemotongan anggaran belanja, khususnya yang harus diberikan untuk jaminan kesehatan nasional melalui National Health Service. Pasar uang di Inggris anjlok akibat meningkatnyapendukung “Brexit”. Implikasi lebih jauh akan berpengaruh pada pengurangan anggaran belanja sekolah, rumah sakit, dan angkatan bersenjata Inggris. Pengurangan anggaran belanja akan berdampak lebih jauh pada tingkat kesejahteraan keluarga atau warga Inggris. Dampak negatif sudah dapat dilihat dari kondisi indeks volatilitas, yang berada di posisi tertinggi sejak krisis finansial 2008. Implikasi ekonomi akibat “Brexit”
mengancam pertumbuhan global dan kejatuhan nilai saham. Indikasi kepanikan di kalangan investor tampak di berbagai negara. Ini logis, karena peran Inggris yang signifikan di Eropa, khususnya UE, mengingat Inggris adalah salah satu kekuatan ekonomi besar dunia, dengan sekitar 50 persen perdagangan luar negeri nggris adalah dengan UE. Sehingga, menguatnya isu “Brexit” telah menyebabkan terjadinya goncangan pada pasar uang dan pengaliran arus modal keluar yang deras dari UE.Bagaimanapun, “Brexit” akan menciptakan kondisi ketidakpastian bagi Inggris, sehingga seperti berjudi dalam perdagangan berjangkanya. Sebab, melakukan negosiasi dagang dari luar UE akan menjadi jauh lebih sulit daripada sekadar memberikan nasihat agar Inggris segera keluar dari UE. Dalam jangka panjang, “Brexit” dapat menghasilkan resiko kolosal yang tidak jelas akhirnya.Selain diperkirakan buruk buat Inggris, jatuh dan terpuruknya nilai mata uang Poundsterling justru bisa berdampak baik buat negara tersebut, khususnya bagi pembayaran utangnya, mengingat utang Inggris pada umumnya dalam denominasi Poundsterling. Melemahnya nilai mata uang Poundsterling juga dapat menguatkan daya saing ekspor Inggris, mengingat komoditas
seperti cocoa dan kontrak-kontrak gas alam, misalnya, dilakukan dalam denominasi
Poundsterling. Secara positif, “Brexit” juga dinilai dapat sangat baik bagi perbaikan
kondisi ekonomi nasional negeri itu, yang defisit neraca transaksi berjalannya sangat
besar.

“Brexit,” secara spesifik, akan memprovokasi meningkatnya sentimen nasionalisme serta muncul dan menguatnya pemimpin populis dan kanan di UE dengan ambisi kekuasaan dan semangat anti-imigran yang tinggi, sehingga mengancam instabilitas politik UE. Diperkirakan, Inggris akan menghadapi minimal 7 tahun ketidakpastian selama negosiasi terkait hubungan baru dengan UE.

Penutup
“Brexit” bukan lagi hal sederhana, seperti ”To Brexit or Not to Brexit.” Seperti dikatakan Kompas, dampak “Brexit” adalah terancamnya integrasi dan persatuan Eropa, karena ia akan menjadi model bagi negara UE lainnya untuk melakukan eksodus
serupa, apalagi jika eksperimen berani Inggris itu menunjukkan keberhasilannya. Keseragaman dan tanggung jawab bersama dalam menanggung beban secara total telah
menjadi pertimbangan keluar dari integrasi, yang di awal dasawarsa 1990 menjadi solusi atas masalah-masalah ekonomi dan politik yang terjadi di kawasan. Di Eropa, integrasi kawasan telah memperlihatkan perkembangan yang anti-klimaks. Antisipasi para analis internasional, seperti Duffield (1998), di dasawarsa 1990, yang memperkirakan integrasi kawasan sebagai trend, tampaknya terlalu prematur disampaikan, mengingat perkembangannya berbeda. Kian eratnya hubungan antar-
bangsa di kawasan yang diharapkan langgeng terjadi, dalam kenyataannya, sedikit demi sedikit menjadi longgar, sebelum dapat tercerai-berai kembali. Jadi, integrasi kawasan tidak seindah yang telah diimpikan sebelumnya. “Brexit” meninggalkan pertanyaan buat ASEAN, dan Indonesia khususnya, negara anggota terbesar, terkait prospek komunitas Asia Tenggara itu. Walaupun berbeda dilihat dari sejarah pembentukan dan pertumbuhannya, “Brexit” telah memberikan pelajaran sejarah berharga buat ASEAN. Di Malaysia, dampaknya atas likuiditas pasar secara menyeluruh sudah terjadi dalam beberapa minggu. Walaupun buat Indonesia dampaknya diperkirakan tidak signifikan, namun buat emerging economiesakan tampak, terkait nilai tukar Euro dan Poundsterling dalam transaksi dagang, investasi, dan pinjaman. “Brexit” membuat pasar melakukan adjustmentsebelum mencapai nilai yang wajar. Pendapat yang lebih buruk memperkirakan akan muncul guncangan, karena Inggris adalah salah satu negara
berpengaruh dalam UE, sehingga akan merepotkan distribusi dan penjualan, dan mengganggu permintaan pasar komoditi Indonesia. Dengan “Brexit”, Indonesia harus
bernegosiasi dengan Inggris, terpisah dari UE, sehingga akan merugikan potensi akses
pasar Indonesia. Wajar, pelaku bisnis tekstil lebih senang jika Inggris tetap dalam UE.
Para investor harus mewaspadai jika hasil referendum tidak diharapkan pasar. Terlepas
dari itu semua, Komisi-komisi DPR yang berhubungan dengan isu ”Brexit” tampaknya
perlu melakukan refleksi dan penilaian kembali dalam mendorong sejauh mana integrasi masyarakat ASEAN dapat dilakukan. Untuk itu, DPR RI perlu mengantisipasi
dampak “Brexit” yang menjadi fenomenal itu.

logo

logo

Website Universitas Pamulang

Recent Post